Danau Toba terlihat dari Pulau Samosir, Kecamatan Pangururan,
Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Sabtu (23/7/2011). Danau Toba adalah
danau terbesar di Indonesia. Danau hasil volcano tektonik terbesar di
dunia, dengan panjang danau 87 kilometer dan lebar 27 kilometer,
terbentuk dari letusan gunung berapi raksasa (supervolcano) yang terjadi
sekitar 75 ribu tahun lalu.
Tanah putih nan rapuh tersusun berlapis hingga dua meter. Beberapa
lembar daun tercetak di dalamnya. Berserak di pinggir jalan
Simbolon-Pangururan di Pulau Samosir, lapisan itu sesungguhnya endapan
ganggang dan fosil dedaunan yang berumur puluhan ribu tahun. Fosil yang
menjadi bukti penting denyut magma di bawah Danau Toba.
Bagi
warga sekitar, fosil daun dan ganggang yang berada 38 meter dari
permukaan air danau itu hanyalah gundukan, yang sering dikira sebagai
batuan kapur biasa. "Saya tidak pernah tahu kalau itu fosil ganggang,"
kata Astri Sinurat (25), warga Pangururan.
Namun, bagi para ahli
geologi lapisan tanah itu adalah subyek amatan sangat penting untuk
memahami dinamika gunung api raksasa (supervolcano) yang bersemayam di
bawah Danau Toba (baca:Kaldera Toba). Tak hanya di Simbolon-Pangururan,
fosil ganggang juga ditemui nyaris di seluruh lapisan tanah di Samosir.
"Fosil
ganggang menguatkan bukti-bukti tentang pengangkatan Pulau Samosir dari
dasar danau," kata Indyo Pratomo, geolog dari Museum Geologi Indonesia,
yang menyingkap lapisan ganggang dan fosil itu, Juli 2011.
Keberadaan
fosil ini ibarat jejak yang dipahatkan alam di masa silam bahwa
permukaan tanah di Pulau Samosir itu dulunya pernah terendam air, karena
ganggang hanya bisa hidup di dalam air. Selama puluhan ribu tahun,
dasar danau yang berkedalaman hingga 500 meter itu perlahan naik hingga
membentuk Pulau Samosir di atas Pulau Sumatera.
Pengangkatan itu,
menurut Indyo, terjadi pascaletusan terakhir Gunung Toba (Youngest Toba
Tuff/YTT) sekitar 74.000 tahun lalu. Sebelum itu Toba juga pernah
meletus sekitar 501.000 tahun lalu (Middle Toba Tuff, MTT) dan sekitar
840.000 tahun lalu (Oldest Toba Tuff, OTT). CA Chesner, geolog dari
Eastern Illinois University dan WI Rose, geolog dari Michigan Technology
University pada 1991, yang meneliti usia rempah vulkanik di sekitar
Toba melalui radioaktif Argon-argon (40Ar/39Ar) menemukan, material
bebatuan Samosir berusia sekitar 74.000 tahun lalu, atau seusia letusan
YTT.
Setelah meletus hebat, Kaldera Toba tertutup bebatuan beku.
Air kemudian mengisi kaldera hingga membentuk danau. Ganggang mulai
hidup di dalam danau itu. Di tepiannya, semak dan pepohonan tumbuh
menghijau. Beberapa daunnya luruh dan terendapkan di antara lebatnya
ganggang di dalam air.
Sebagaimana kehidupan baru yang mulai
tumbuh di dalam danau, magma nun jauh di bawah bumi terus menggeliat,
mencari jalan keluar ke permukaan bumi. Dapur magma yang sebelumnya
terkuras saat letusan YTT, kembali terisi. Magma itu kemudian mendesak
bebatuan penyumbatnya ke atas.
Perlahan, sebagian dasar kaldera
itu pun terangkat naik mengikuti gaya dorong magma di bawahnya. Dasar
danau di bagian tengah yang semula terendam mulai muncul ke permukaan
mencipta daratan baru. Ganggang dan dedaunan yang terendapkan di dasar
danau juga turut terangkat naik. "Butuh penelitian lanjutan untuk
mengetahui apakah proses pengangkatan itu masih terjadi sampai sekarang.
Sejauh ini belum ada yang menelitinya," kata Indyo.
Sedemikian kuatkah dorongan magma Toba sehingga mampu mengangkat dasar danau sedalam ratusan meter hingga membentuk pulau?
CA
Chesner, geolog dari Eastern Illiois University, menyebutkan, saat
meletus pada 74.000 tahun lalu, Toba melontarkan 2.800 kilometer kubik
magma, Inilah letusan berskala 8 dalam Volcano Explosivity Index (VEI),
terkuat dalam 2 juta tahun terakhir.
Luncuran awan panas letusan
YTT mencapai area seluas 20.000 km2. Awan panas itu menimbun nyaris
seluruh daratan Sumatera mulai dari Samudera Hindia di sebelah barat
hingga Selat Malaka di sebelah timur dengan ketebalan material rata-rata
100 m dan di beberapa area mencapai 400 meter.
Jejak letusan
Indyo
menghadirkan narasi tentang letusan raksasa Toba itu, melalui jejak
bebatuan yang berserak di sekitar Danau Toba. Salah satunya melalui
bebatuan di pinggir jalan Kabanjahe-Doloksanggul, sekitar 30 km dari
tepi Danau Toba.
Sekalipun bagi mata awam, tebing yang terkelupas
karena penambangan itu barangkali hanyalah tanah biasa, namun di mata
Indyo, itu adalah bukti-bukti nyata pernah terjadinya letusan raksasa.
Bersama
Indyo pada pertengahan Juli 2011 itu, kami menyusuri jejak perjalanan
geolog Belanda, Van Bemmelen (1939) yang untuk pertama kali menemukan
limpahan material vulkanik yang menutupi seluruh kawasan sekitar Danau
Toba. Bemmelen adalah orang yang pertama kali menyimpulkan bahwa danau
ini terbentuk dari letusan gunung api.
"Tinggi tebing yang
tersusun dari batu apung di kawasan ini bisa mencapai lebih dari 50
meter. Tak adanya pelapisan, menunjukkan material ini dilontarkan
seketika saat letusan. Padahal ini belum dasarnya," Indyo menggambarkan
kedahsyatan letusan itu.
Letusan itu membentuk awan panas, lalu
runtuh dan menimbun kawasan sekitarnya. Kedalaman timbunan awan panas di
sekitar Danau Toba, diperkirakan mencapai lebih dari 100 meter.
Kombinasi kegiatan volkano-tektonik di kawasan Toba, menurut Indyo, juga
memicu terjadinya runtuhan dan pengangkatan lapisan bumi, yang
mengakibatkan tersingkapnya batuan dasar dari periode permo-karbon,
yaitu sekitar 300 juta tahun yang lalu.
"Kami menyebut bebatuan
itu formasi bahorok, karena batu yang sama ditemukan di kawasan Bahorok.
Asalnya sebenarnya dari Gondwana, benua raksasa di masa lalu yang
berada di belahan bumi selatan," kata Indyo.
Benua raksasa ini
terpecah dan mengapung saat mencairnya zaman es dan terbawa hingga ke
Sumatera. Batuan itu berwarna hitam, berbentuk pipih, dan
berlapis-lapis, dengan noda-noda berwarna kuning. "Batuan ini juga
sering disebut sebagai batu sabak yang dipakai untuk
buku
tulis di masa lalu. Bentuknya pipih dan warnanya hitam. Batu sejenis
bisa ditemukan di sekitar Pegunungan Himalaya," kata Indyo.
Letusan
Toba, menurut Indyo, sangat kuat dan unik. "Di gunung-gunung lain tak
pernah dilihat batuan dasar yang terbongkar akibat letusan. Bahkan
letusan Gunung Tambora, yang terkuat di dunia modern, tak pernah
ditemukan batuan dasarnya," katanya.
Supervolcano Toba memang
gunung super, yang letusannya berdampak global, bahkan dipercaya telah
mengubah perjalanan manusia modern (Homo sapiens). Saat Toba meletus,
spesies homo sapiens yang menjadi nenek moyang manusia modern nyaris
punah. Migrasi terhenti dan mereka terisolasi di suatu tempat di Afrika,
seperti yang terekam dalam kemiripan genetika manusia modern di seluruh
penjuru dunia.
Inilah periode
population bottlenecks
yang mengundang tanda tanya para ahli selama puluhan tahun, yang
belakangan sering dihubungkan dengan letusan Gunung Toba. Dengan riwayat
yang sedemikian hebat ini, sebagian besar masyarakat di nusantara
mengenal Danau Toba lebih karena keindahannya semata dan kekayaan budaya
masyarakat yang mendiaminya.
Para pemangku kepentingan, pemandu
wisata, para turis asing, bahkan warga yang bertahun-tahun mendiami
Kaldera Toba kebanyakan tak paham bahwa di balik keindahan Toba terdapat
sejarah mahapenting tentang letusan Supervolcano Toba, yang letusannya
telah mengubah dunia.
Kebanyakan warga Samosir tidak mengetahui
bahwa daratan yang mereka diami dulunya merupakan dasar danau yang
terbentuk dari proses vulkano-tektonik sangat dahsyat. Ifi D Sitanggang
(25), warga Samosir, mengatakan, kebanyakan warga memahami Pulau Samosir
maupun Danau Toba dari mitos dan dongeng yang dikisahkan orang tua.
Nurlela
(40) juga tinggal berpuluh tahun dan hidup dari Kaldera Toba. Perempuan
asli Tomok ini sehari-hari berdagang ikan pora-pora, ikan kecil yang
banyak terdapat di danau ini. Sedangkan, suaminya bertani. Bagi
Nurlela, air Danau Toba, batuan, dan tanah Samosir sebatas tempat
mencari penghidupan.
Tak pernah terlintas dalam benak Nurlela
betapa dahulu di tempatnya hidup itu pernah berdiri gunung yang
letusannya mengubah dunia.