Minggu, 05 Agustus 2012

Inikah Tulang Yohanes Pembaptis?

Patung Yohanes Pembaptis di Perancis


Ilmuwan menemukan tulang manusia di dalam sebuah sarkofagus di bawah lantai gereja di Bulgaria, dua tahun lalu. Tulang yang ditemukan berupa tulang tangan beserta tulang gigi, bagian tulang tengkorak, dan tiga tulang hewan.
Pada sarkofagus tempat tulang tersebut ditemukan tertulis "Sveti Ivan", yang berarti Yohanes Pembaptis. Ilmuwan menduga bahwa tulang yang ditemukan adalah milik Yohanes Pembaptis, sosok yang membaptis Yesus di Sungai Yordan.
Beberapa analisis tulang mendukung klaim tersebut. Salah satunya, tulang diketahui berasal dari abad pertama Masehi, masa Yohanes Pembaptis hidup sebelum akhirnya dipenggal oleh Raja Herodes.
Ilmuwan dari University of Copenhagen melakukan analisis DNA dari sampel tulang yang ditemukan. Hasilnya mengungkapkan bahwa tulang berasal dari satu individu, kemungkinan pria, serta berasal dari Timur Tengah, tempat Yohanes Pembaptis hidup.
Apakah bisa dipastikan bahwa tulang yang ditemukan adalah milik Yohanes Pembaptis? Tentu saja hal itu masih bisa diperdebatkan. Banyak situs di dunia yang diyakini menyimpan tulang milik Yohanes Pembaptis, salah satunya di Masjid Besar Damascus.
"Hasil analisis dari tulang metakarpal (jari tangan) konsisten menunjukkan seseorang yang hidup pada abad 1 Masehi. Apakah ini Yohanes Pembaptis, itu sebuah pertanyaan yang kita belum bisa jawab secara pasti, dan mungkin takkan pernah bisa," kata Tom Higham, pimpinan studi dari Ozford University, seperti dikutip AFP, Kamis (14/6/2012) lalu.
Tulang itu ditemukan di sebuah kotak dalam sarkofagus. Menurut peneliti, gereja di Bulgaria menerima bagian dari tulang Yohanes Pembaptis tersebut pada awal abad ke-6.

Program Komputer Lacak Penulis Kitab Suci

Ilustrasi Kitab Suci



Ilmuwan komputer asal Israel mengembangkan program komputer dengan alogaritma yang mampu menganalisis gaya tulisan. Program ini digunakan untuk menemukan penulis kitab suci yang sebenarnya, sesuatu yang kini masih jadi perdebatan.
Hingga pengembangan saat ini, program memang belum mampu mencapai target utamanya. Namun, program telah bisa dipakai untuk menganalisa kalimat yang dibuat oleh lebih dari satu orang dan mendeteksi di bagian mana sebenarnya tulisan berpindah tangan ke penulis lain.
Sebagai contoh, banyak orang percaya bahwa kitab Taurat yang merupakan kitab suci tertua ditulis oleh satu orang saja, yakni Musa. Meski demikian, banyak ahli yakin bahwa kitab tersebut memiliki banyak sumber.
Program komputer akan menengahi perdebatan dengan menyuguhkan hasil analisa. Program ini melihat bagaimana kata-kata dan sinonim digunakan dalam beragam kalimat sehingga bisa menemukan siapa saja orang yang terlibat dalam pembuatan suatu naskah.
Tim peneliti yang dipimpin oleh Professor Nachum Dershowitz dari Blatvanik School of Computer Science University of Tel Aviv mengatakan bahwa kemampuan program telah diuji dengan menganalisa 2 buku bahasa Ibrani dari Jeremiah dan Ezekiel. 99 persen hasil analisa akurat.
Program komputer dan kemampuannya ini dipresentasikan di Annual Conference of the Association for Computational Linguistics di Portland. Tim peneliti mengatakan, program ini secara khusus diharapkan bisa menelaah siapa penulis Alkitab yang sebenarnya.

Bahasa yang Hilang Kini Ditemukan

Lempengan tanah liat berisi nama-nama perempuan dalam aksara paku, diduga menjadi petuinjuk adanya bahasa yang belum dikenal sebelumnya.


 Arkeolog yang melakukan penelitian di Turki menemukan bukti adanya bahasa yang dilupakan atau hilang. Bahasa itu berasal dari masa 2500 tahun lalu, pada masa Kerajaan Asiria.
Bukti adanya bahasa itu ditemukan dalam sebuah lempengan tanah liat. Menurut prediksi para arkeolog, lempengan tanah liat itu terbakar di sebuah istana di Tushan pada abad ke-8 SM.
Pada tablet yang ditemukan, tertulis nama-nama perempuan yang terkait dengan istana dan badan administrasi Asiria. Seluruh nama yang tertera dituliskan dalam aksara paku.
Tablet tepatnya ditemukan di wilayah Ziyaret Tepe di Sungai Tigris, wilayah tenggara Turki. Wilayah ini ialah lokasi penggalian arkeologi secara ekstensif sejak tahun 1997.
John MacGinnis, arkeolog dari McDonald Institute for Archaeological Research yang melakukan penelitian ini, mengungkapkan bahwa nama-nama yang tertera pada tablet unik dan menarik perhatian.
"Semuanya yang tertulis 60 nama. Satu atau dua adalah Asiria dan beberapa yang lain dari bahasa lain yang ada pada masa itu, seperti Luwian dan Hurrian, tetapi mayoritas dari bahasa yang tak dikenal," ungkap MacGinnis seperti dikutip Sciencedaily, Kamis (10/5/2012).
Arkeolog percaya bahwa orang-orang yang namanya mengindikasikan adanya bahasa yang belum dikenal itu berasal dari Gunung Zagros, kini perbatasan Iran dan Irak. Mereka terpaksa keluar dari kampung halamannya pada masa Kerajaan Asiria.
"Jika teori bahwa orang-orang yang bicara bahasa itu berasal dari barat Iran terbukti, ada potensi bagi kita untuk mendapatkan gambaran sebuah kerajaan pertama yang multietnis," kata MacGinnis.
"Kita tahu dari literatur kini bahwa Asiria memang menaklukkan orang di area itu. Kini kita mengetahui bahwa ada bahasa lain yang mungkin berasal dari daerah yang sama dan mungkin banyak bukti terkait keberadaannya menanti untuk ditemukan," ungkapnya.
Penemuan ini membuka pertanyaan baru, dari mana bahasa yang tak dikenal itu berasal. Ada dugaan bahwa bahasa berasal dari masyarakat Shrubian, masyarakat yang tinggal di Tushan sebelum Asiria datang.
Hipotesis lain menyebutkan bahwa bahasa itu berasal dari orang-orang Mushki, orang yang bermigrasi dari wilayah yang disebut Anatolia. Hipotesis ini dianggap kurang masuk akal.
Pandangan yang lebih kuat adalah bahasa tersebut berasal dari masyarakat yang diusir keluar oleh Asiria. Pendekatan ini dipakai agar masyarakat itu di wilayah barunya bisa lebih bergantung pada Asiria untuk mendapatkan kesejahteraan.
Lempeng tanah liat yang ditemukan kini disimpan di Diyarbakir, Turki. Hasil riset MacGinnis dipublikasikan di Journal of Near Eastern Studies.

Makam Berusia 4.000 Tahun Ditemukan

Lukisan Rudj-ka dan istrinya.


Para arkeolog telah menemukan makam kuno berasal dari zaman Firaun yang usianya sudah lebih dari 4.000 tahun di dekat Piramid Giza. Pemerintah Mesir mengumumkannya minggu ini.
Indah dalam hiasannya, makam itu ditemukan di dekat makam para pembangun piramida. Makam yang ditemukan itu diketahui merupakan milik Rudj-Ka, pemuka agama yang hidup pada masa Dinasti Kelima Mesir Kuno atau sekitar 2465-2323 SM. Ia diketahui juga merupakan anggota pengadilan Mesir Kuno. Di masanya, imam itu bertugas sebagai pemimpin ritual upacara penghormatan Khafre, penguasa Dinasti Keempat Mesir Kuno yang juga dikenal dengan nama Chephren.
Bagian permukaan dari makam Rudj-ka berhiaskan lukisan kehidupan sehari-hari orang Mesir kuno. Salah satu dinding makamnya melukiskan Rudj-Ka sedang berlayar mencari ikan. Sementara di dinding lainnya menggambarkan sang pemuka agama dan istrinya berdiri di depan meja yang penuh dengan roti, angsa, dan hewan ternak.
Zahi Hawass, Sekretaris Umum Egypt's Supreme Council of Antiquities, mengatakan bahwa penemuan ini mungkin mengindikasikan adanya kompleks pekuburan besar di dekat salah satu piramida terbesar itu. "Makam kuno ini bisa menjadi yang pertama yang ditemukan di area itu. Kami berharap bisa menemukan makam-makam yang diperuntukkan bagi para anggota pengadilan masa itu," tandas Hawass.
Ia juga berspekulasi bahwa makam itu mungkin merupakan kelanjutan dari kompleks pemakaman di Giza. Sebab, kompleks pemakaman di dataran tinggi Giza diketahui sudah terlalu padat.

Patung Firaun Berwajah Feminin Ditemukan

Patung Hatshepsut yang berwajah feminin.



Patung Hatshepsut, penguasa Mesir Kuno yang memerintah pada abad 15 SM, ditemukan Abydos, Mesir. Patung tersebut punya keunikan karena cenderung menunjukkan feminitas.

Hatshepsut sejatinya adalah seorang perempuan, namanya berarti Perempuan bangsawan paling Terkemuka. Karenanya, sekilas, patung yang menunjukkan feminitas tak ada istimewa. Toh, dia memang perempuan.

Akan tetapi, Hatshepsut dipercaya sebagai keturunan Dewa Amon-Re. Ia sering berbusana pria sehingga bisa memenuhi harapan sebagai figur keturunan dewa. Inilah yang menjadikan patung feminin ini istimewa.

Patung Hatshepsut yang ditemukan terbuat dari bahan kayu. Patung disebut menonjolkan sisi feminin sebab memiliki pinggang yang lebih kecil dan bentuk rahang yang lebih halus.

Mary-Ann Pouls Wegner, arkeolog dari Universitas Toronto, Kanada, mengungkapkan patung tersebut digunakan pada masa 1990 - 1650 SM. Patung ditemukan di dekat tempat prosesi.

Bersama patung, ditemukan pula bangunan suci dan 80 mumi hewan.

"Bangunan persembahan menunjukkan bahwa orang-orang, terutama kalangan elit, mampu membangun monumen di dekat tempat prosesi di tengah kerajaan. Dan, paling tidak satu kapel diijinkan tetap berdiri di area padat bangunan ini dan terus mendapatkan persembahan hingga 800 tahun setelah pembangunan," ungkap Wegner seperti dikutip New Scientist, Rabu (13/3/2012). 

Pigmen Tertua Milik Moyang Cumi-cumi

  Fosil kantung tinta dari masa 160 juta tahun lalu.


Pigmen tertua ditemukan di kantong tinta hewan cephalopoda yang hidup 160 juta tahun lalu. Cephalopoda mencakup cumi-cumi, gurita, dan sotong.

Berdasarkan penelitan John Simon dari University of Virginia, struktur molekuler dari tinta tersebut tak jauh berbeda dengan tinta milik sotong masa kini jenis Sepia officinalis.

"Mereka secara esensial tidak bisa dibedakan," ungkap Simon seperti dikutip Livescience pada Senin (21/5/2012).

Hasil penelitian yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences pada Senin kemarin menyatakan bahwa jenis pigmen yang ada pada tinta adalah melanin.

Ada dua macam melanin, yakni eumelanin yang berwarna hitam atau coklat gelap dan pheomelanin yang berwarna oranye-merah.

Analisis kimia yang dilakukan mengungkap bahwa jenis melanin yang ada pada kantong tinta hewan purba ini adalah eumelanin. Ilmuwan juga mengatakan bahwa warna tinta itu adalah hitam.

Berasal dari masa 160 juta tahun yang lalu, Simon mengatakan bahwa pigmen ini adalah yang tertua.

Meski demikian, Simon saat ini tengah berencana meneliti pigmen dari masa yang lebih tua lagi, sekitar 500 juta tahun. Riset ini akan memberikan pandangan tentang warna-warna alami yang ada sejak dahulu.

Sotong modern menggunakan tinta untuk mengganggu predator. Fakta bahwa pigmen masa kini tak jauh berbeda dengan masa lalu adalah mengejutkan sebab cephalopoda telah cukup banyak berubah dalam evolusinya. 

KOMPAS.com Cetak ePaper Kompas TV Bola Entertainment Tekno Otomotif Female Health Properti Kompasiana Urbanesia Images Games KompasKarier PasangIklan Gramedia.com Forum Kompas.com Minggu, 5 Agustus 2012 | 10:18 WIB Home Nasional Regional Internasional Megapolitan Bisnis Olahraga Sains Travel Oase Edukasi Infografis Video More Konservasi Global Warming Umum Astronomi Arkeologi Biologi Lab Serba Serbi Wow!! Fenomena New Jelajahi Kompas.com Bersama Teman-Teman Facebook Anda Learn more Spesies Buaya Terbesar Punya Panjang 8,3 Meter

  Ilustrasi perbandingan ukuran buaya Crocodylus thorbjarnarsoni dengan manusia purba.


Spesies buaya raksasa yang sanggup menelan manusia bulat-bulat pernah hidup di wilayah timur Afrika. Inilah hasil riset peneliti dari University of Iowa.
Ukurannya lebih dari 27 kaki atau sekira 8,3 meter. Sebagai perbandingan, buaya Nil terbesar berukuran kurang dari 21 kaki (6,4 meter).
"Ini adalah buaya terbesar sepanjang masa," kata Christopher Brochu, sang peneliti, seperti dikutip Sciencedaily, Jumat (4/5/2012).
Spesies buaya tersebut diberi nama Crocodylus thorbjarnarsoni. Jenis ini hidup dalam kurun waktu 2-4 juta tahun yang lalu.
Buaya raksasa ini ditemukan dengan analisis fosil yang disimpan di National Museum of Kenya di Nairobi.
"Buaya ini hidup berdampingan dengan leluhur kita, dan mungkin memakan mereka," lanjut Brochu.
Memang tak ada bukti bahwa buaya ini pernah, makan manusia. Namun, ukuran buaya yang besar cukup menguatkan. Buaya bisa makan apa saja dan manusia adalah salah satunya.
"Kami tak punya bukti sisa fosil manusia dengan gigitan buaya, tapi ukuran buaya ini lebih besar dari buaya saat ini, dan kita lebih kecil. Jadi, buaya mungkin tak perlu menggigit," papar Brochu.
Perilaku manusia saat itu juga memberi kemungkinan serangan. Manusia saat itu mencari air di sungai atau danau tempat buaya bersemayam.
Brochu mengungkapkan bahwa Crocodylus thorbjarnarsoni tak memiliki kekerabatan secara langsung dengan buaya Nil yang eksis saat ini.
Menurut Brochu, hal itu menunjukkan bahwa buaya Nil adalah spesies yang relatif "muda", bukan merupakan "fosil hidup" seperti yang diduga.
"Kami benar-benar tak tahu dari mana buaya Nil berasal. Namun, dia baru muncul ketika buaya-buaya purba sudah punah," kata Brochu.
Hasil riset Brochu dipublikasikan di Journal of Vertebrate Paleontology yang terbit pada 3 Mei 2012 lalu.

Fosil Dinosaurus Berbulu Terbesar Ditemukan

Yutyrannus huali


Xu Xing, peneliti dari Institute of Vertebrate Palaentology and Palaeoanthropology di Beijing, China, menemukan spesies baru dinosaurus yang dinobatkan sebagai satwa berbulu dengan ukuran terbesar.
Spesies baru tersebut dideskripsikan dari tiga spesimen fosil yang ditemukan di Provinsi Liaoning, timur laut China. Satu spesimen ialah individu dewasa, sedangkan dua lainnya adalah anakan.
Jenis dinosaurus terbesar yang ditemukan diberi nama Yutyrannus huali, diambil dari bahasa Latin dan Mandarin yang berarti raja yang besar dan menawan.
Ilmuwan memperkirakan bahwa dinosaurus tersebut hidup sekitar 125 juta tahun lalu. Ukuran berat jenis dinosaurus ini ketika dewasa bisa mencapai 1,4 ton.
"Bulu Yutyrannus seperti filamen yang sederhana. Bulunya lebih seperti bulu anak ayam modern daripada bulu burung dewasa yang kaku," papar Xing seperti diberitakan AFP, Kamis (5/4/2012).
Penemuan ini membuktikan adanya dinosaurus berbulu. Ilmuwan berpendapat, bulu dinosaurus bisa berfungsi sebagai penghangat, menarik pasangan, maupun unjuk kegagahan saat berkelahi.
Yutyrannus huali masih merupakan kerabat Tyranosaurus rex yang hidup hingga 65 juta tahun lalu, saat asteroid raksasa diperkirakan menumbuk Bumi dan memusnahkan sebagian besar makhluk hidup.
Perbedaannya, jika T-rex memiliki dua jari fungsional, Yutyrannus hulai memiliki tiga jari fungsional. Selain itu, jenis baru ini juga punya kaki yang khas, berbeda dengan kerabat T-rex lainnya.
Meski berbulu, Yutyrannus huali terlalu berbulu untuk bisa terbang. Namun, ilmuwan tetap memercayai bahwa burung masa kini merupakan hasil evolusi dinosaurus yang suka hinggap di pohon dan akhirnya belajar terbang.
Selain berbulu, dinosaurus jenis baru ini juga memiliki gigi tajam. Kaki dinosaurus ini lebih pendek dari kaki belakangnya sehingga gerakan dinosaurus lebih didukung oleh kaki belakang.
Penemuan dinosaurus ini dipublikasikan di jurnal Nature.

Manusia Menggunakan Api sejak 1 Juta Tahun Lalu

  Ilustrasi


Kapan manusia mulai menggunakan api? Hal ini telah menjadi perdebatan sejak lama. Studi terbaru menunjukkan bahwa manusia menggunakan api sejak 1 juta tahun yang lalu.

Peneliti dari Boston University, Fransesco Berna, menemukan bukti penggunaan api di Gua Wonderweck, Afrika Selatan. Ia memublikasikan hasil risetnya di Proceedings of the National Academy of Sciences.

Sebelumnya, ada pendapat bahwa nenek moyang manusia mulai memakai api sejak 1,5 juta tahun lalu atau bahkan lebih awal. Namun, masalah yang muncul adalah bagaimana membedakan api alami dan buatan?

Pengetahuan tentang awal manusia menggunakan api sendiri sangat penting dalam arkeologi dan evolusi. Perilaku ini menjadi petunjuk evolusi otak dan kecerdasan manusia.

Dalam pernyataan kepada AP, Senin (2/4/2012), Berna mengungkapkan bahwa bukti adanya penggunaan api adalah abu dan tulang yang terbakar beberapa kali.

Michael Chazan dari University of Torronto yang terlibat studi mengatakan, leluhur manusia saat itu mungkin membawa material yang sudah terbakar secara alami ke gua untuk membuat api lebih besar.

Berdasarkan alat-alat batu yang ditemukan di lokasi penelitian, Chazan mengatakan bahwa spesies manusia yang mulai membuat api ialah Homo erectus. Spesies ini sudah ada sejak 2 juta tahun lalu.

Dalam riset, Berna memang tidak menemukan bukti persiapan pembakaran seperti perapian atau lubang cukup dalam. Tetapi, ia berpendapat bahwa tak mungkin pembakaran terjadi karena alam, misalnya petir.

Jejak penggunaan api berada 30 meter dari mulut gua. Dan, karena adanya perubahan sejak 1 juta tahun lalu, maka mungkin lokasi penggunaan api sebenarnya lebih dalam.

Berna juga menuturkan bahwa api tak mungkin berasal dari pembakaran guano atau kotoran kelelawar. Dalam beberapa kasus lain, ini bisa terjadi, walau jarang ditemui.

Berna mengungkapkan, tulang bisa menjadi petunjuk adanya pembakaran sebab mengalami perubahan warna dan kimia. Bukti pembakaran juga ada di batuan. Abu membuktikan adanya pembakaran daun, rumput, dan ranting.

Belum diketahui tujuan penggunaan api saat itu. Peneliti menduga, api bisa digunakan untuk memasak. Leluhur memakan daging dan melemparkan tulangnya ke perapian. Kemungkinan lain, api dipakai untuk menghangatkan dan melindungi dari serangan hewan liar.

Hasil penelitian Berna mendapatkan tanggapan dari banyak peneliti.

Anne Skinner dari William College, Williamstown, Massachusets, mengatakan bahwa hasil studi ini harus dibandingkan dengan studi lain di tempat terdekat yang menunjukkan penggunaan api dalam waktu sama.

Menurut Skinner, kombinasi beberapa bukti dari beberapa tempat yang berdekatan akan lebih kuat. Sebelumnya, tulang yang terbakar juga ditemukan di gua Gua Swartkrans yang tak jauh dari Gua Wonderweck.

Wil Roebroeks dari Leiden University di Belanda dan Paola Villa dari University of Witwatersrand di Johannesburg di Afrika Selatan mengatakan bahwa studi Berna tidak memberi bukti kuat.

Menurut Roebroeks dan Villa, tak ada bukti fisik yang menunjukkan bahwa leluhur manusia sudah menggunakan api selama itu. Studi sebelumnya mengungkapkan bahwa manusia baru menggunakan api 400.000 tahun lalu.

Berna akan kembali lagi ke Gua Wonderweck untuk melakukan penelitian lebih lanjut tahun ini. 

Reptil Berbulu Hidup 240 Juta Tahun Lalu

Longisquama insignis


Para palaentolog percaya bahwa reptil berbulu pernah hidup 230-240 juta tahun lalu, beberapa lama sebelum dinosaurus atau 70-80 juta tahun sebelum burung purba ada.

Spesies reptil bersayap yang pernah eksis itu adalah Longisquama insignis. Spesimen spesies itu pernah ditemukan dalam bentuk fosil di Kyrgystan pada tahun 1960.

Beberapa ilmuwan beranggapan bahwa bulu-bulu yang ada di fosil bukan milik L. insignis. Namun, peneliti lain menganggap sebaliknya. Studi terbaru mengungkap bahwa Longisquama memang memiliki bulu.

"Fitur aneh pada kulit Longisquama bisa jadi berupa sisik maupun bulu. Fitur itu mungkin terkait evolusi awal bulu pada petranosaurus dan dino," kata Micahel Butchwitz dari Freiburg University, Jerman, seperti dikutip New Scientist, Jumat (23/3/2012).

Butchwitz menganalisis ulang fosil. Ia menemukan bahwa struktur bulu benar-benar berakar di kulit, berdekatan dengan tulang. Jadi, bulu tersebut memang merupakan bagian tubuh Longisquama.

Evolusi L. insignis kemudian melahirkan pteranosaurus, buaya, dinosaurus, dan burung. Masing-masing menumbuhkan fitur kulitnya sendiri. 

Kuda Purba Berukuran Sebesar Kucing

Kuda liar di sabucedo, Spanyol.


Kuda kini menjadi salah satu mamalia berukuran besar. Namun, puluhan juta tahun lalu, ternyata ukuran kuda cuma sebesar kucing.
Palaentolog menyimpulkan hal tersebut berdasarkan hasil penelitian pada fosil gigi kuda Sifrhippus sandrae, kuda pertama yang mendiami benua Amerika.
Menurut para palaentolog, ukuran kuda yang kecil dipengaruhi oleh iklim yang panas pada periode Paleocene-Eocene Thermal Maximum sekitar 50 juta tahun lalu.
Pada periode tersebut, banyak hewan yang punah akibat suhu panas. Sementara, beberapa hewan harus beradaptasi dengan memiliki ukuran tubuh kecil.
Temperatur rata-rata global saat itu meningkat hingga lebih dari 10 derajat Celsius. Sementara, temperatur di Laut Artik adalah 23 derajat Celsius, sama dengan temperatur laut subtropis saat ini.
Berdasarkan penelitian, 56 juta tahun lalu, berat kuda hanya 5,6 kg dan menyusut lagi menjadi 3,9 kg 130 ribu tahun kemudian. Ukuran baru membesar 45.000 tahun kemudian dengan berat 7 kg.
Fenomena penyusutan tidak hanya terjadi pada kuda. Beberapa herwan lain seperti burung juga dilaporkan mengalami penyusutan.
Nah, bagaimana dengan suhu Bumi yang makin meningkat saat ini? Akankah membuat makhluk-makhluk di Bumi beradaptasi dengan menyusutkan ukuran tubuh?
Ross Secord dari University of Nebraska-Loncoln mengungkapkan bahwa ada perbedaan antara perubahan iklim di masa lampau dan saat ini.
Ia mengatakan, di masa lampau, perubahan terjadi dalam jangka waktu puluhan ribu tahun. Sementara, pemanasan yang terjadi saat ini terjadi dalam jangka waktu puluhan atau ratusan tahun saja.
"Jadi, ada perbedaan besar dalam skalanya, dan beberaa pertanyaannya adalah, apakah kita akan melihat respon yang sama, apakah hewan akan mampu menyesuaikan ukuran tubuhnya dalam beberapa abad," kata Secord seperti dikutip AFP, Jumat (24/2/2012).
Kemungkinannya, lebih banyak spesies yang punah daripada yang mampu menyesuaikan diri. Penelitian Secord dan rekannya dipublikasikan di jurnal Science, Kamis (23/2/2012).

"Lampu Vampir", Butuh Darah Manusia untuk Menyala!

Desainer produk asal Amerika Serikat, Mike Thompson, menciptakan Lampu Vampir. Layaknya vampir atau drakula, lampu ini butuh darah manusia untuk hidup atau menyala.

Dengan menciptakan lampu yang hanya bisa dipakai sekali, pengguna harus berpikir ulang kapan lampu paling dibutuhkan.
-- Mike Thompson

Saat menyala, lampu tersebut akan menghasilkan warna biru. Lampu menyala saat zat kimia di dalam sebuah tablet dalam lampu itu melepaskan energi. Pelepasan energi bisa terjadi jika lampu mendapat suplai darah.
Thompson, seperti diberitakan Daily Mail, Senin (28/5/2012), menuturkan, tujuan pembuatan lampu bukan untuk mencari sensasi, melainkan menyadarkan pentingnya menghemat energi. Tujuan pembuatan lampu ini, ungkap Thompson, untuk membuat orang bertanya bagaimana jika individu harus membayar dengan dirinya demi mendapatkan daya.
Ia mengaku ingin mengomunikasikan bahwa konsumsi energi terlalu besar akan membahayakan individu, sama halnya ketika manusia kehilangan banyak darah.
"Dengan menciptakan lampu yang hanya bisa dipakai sekali, pengguna harus berpikir ulang kapan lampu paling dibutuhkan, memaksa mereka berpikir seberapa boros mereka dalam menggunakan energi dan betapa berharga energi itu," ujar Thompson dalam situsnya.
 Lampu Vampire




Unta Mini Purba Ditemukan di Panama

  Fosil rahang bawah unta mini purba jenis Aguascalietia panamaensis. 




Aldo Rincon, mahasiswa palaentologi di University of Florida di Gainesville, menemukan fosil unta mini purba. Fosil tersebut ditemukan dalam ekskavasi di situs Palaentologi Las Casacadas, Panama, antara tahun 2008-2009.Identifikasi menunjukkan bahwa fosil yang ditemukan ialah milik dua spesies unta, yaitu Aguascalietia panamaensis dan Aguascalientia minuta. Kedua unta tersebut hidup di Amerika Tengah 20 juta tahun lalu, punya moncong seperti buaya serta gigi yang pendek dan tajam.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, Rincon mengungkapkan bahwa unta pemakan buah dan daun itu berukuran mini. A minuta hanya memiliki tinggi sekitar 60 cm, hampir setara dengan rusa, sedangkan A panamaensis memiliki tinggi 80 cm.
"Mereka binatang yang lucu. Saya tak menyangka menemukan ini di Panama," kata Carlos Jaramillo dari Smithsonian Tropical Research Institute di Panama yang juga terlibat penelitian ini, seperti dikutip National Geographic, Selasa (6/3/2012).
Di masa modern, unta melimpah di Afrika dan Timur Tengah. Padahal, 35-40 juta tahun lalu, unta melimpah di Amerika. Penemuan ini memberi petunjuk tentang evolusi unta, yang pada masa lalu terpecah menjadi dua, satu di Asia dan satu lagi di Amerika Selatan.
Penemuan dua spesies unta purba ini dipublikasikan di Journal of Vertebrate Palaentology baru-baru ini.

Inikah Spesies Baru Kerabat Manusia?

  Ilustrasi wajah manusia Red Deer Cave yang fosilnya ditemukan di Cina.


Kerangka manusia ditemukan di wilayah Maludong, dekat kota Mengzi di Propinsi Yunnan serta di Longlin, Propinsi Guangxi, China.

Ditemukan tahun 1979 dan 1989, tetapi lama tak dipelajari, paleontolog akhirnya berhasil mengetahui bahwa fosil tersebut berusia antara 11.500 dan 14.500 tahun. Namun, sampai saat ini, jenis manusia itu belum ditetapkan, cuma disebut manusia "Red Deer Cave".

Dalam publikasinya di jurnal PLoS ONE, Rabu (14/3/2012), paleontolog asal China dan Australia yang melakukan penelitian mengungkapkan bahwa fosil itu kemungkinan merujuk pada spesies baru manusia.

Meski demikian, Darren Curnoe dari University of New South Wales yang terlibat penelitian mengatakan, studi lebih lanjut masih harus dilakukan untuk mengklasifikasikan fosil manusia yang ditemukan.

"Kami akan hati-hati dalam menggolongkannya. Salah satu alasannya karena dalam ilmu tentang evolusi manusia atau paleoantropologi, kita tidak punya definisi umum tentang Homo sapiens, jenis kita sendiri antara percaya atau tidak. Jadi, ini sangat kontroversial," kata Curnoe seperti dikutip BBC, Rabu (14/3/2012).

Curnoe menguraikan, analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa gigi dari manusia Longlin dan Maludong menunjukkan kesamaan. Artinya, mereka merupakan satu populasi.

Namun, jika dibandingkan dengan jenis manusia lain, kedua fosil itu punya perbedaan. Manusia Longlin dan Maludong seperti perpaduan antara manusia purba dan modern.

Secara umum, fosil memiliki rongga tengkorak yang bulat dan menonjol di bagian tulang alis. Tulang tengkoraknya tebal, berwajah pendek dan datar serta memiliki hidung yang lebar.

Pemindaian sinar-X pada rongga otak menunjukkan bahwa manusia gua ini punya lobus frontal yang tampak modern dengan lobus anterior atau parietal yang masih tampak primitif.

Ciri lain, rahang manusia gua yang ditemukan tampak sedikit menonjol. Akan tetapi, manusia ini memiliki fitur dagu yang tak semenonjol pada manusia modern.

Curnoe memiliki tiga skenario tentang asal usul manusia gua ini. Pertama, manusia ini merepresentasikan Homo sapiens primitif yang bermigrasi dan hidup terisolasi dari yang lain.

Skenario kedua, manusia ini mungkin Homo sapiens yang berbeda, yang berevolusi di Asia dan hidup sezaman dengan manusia saat ini selama beberapa lama.

Sementara, skenario ketiga yang diajukan adalah bahwa manusia ini mungkin hasil perkawinan silang.

"Sangat mungkin manusia ini adalah hasil perkawinan silang antara manusia modern dan manusia purba yang ada saat itu. Opsi lain, mereka berevolusi secara terpisah karena tekanan genetik atau isolasi dalam respons terhadap tekanan lingkungan, misalnya iklim," ungkap Isabelle De Groote, pakar paleoantropologi dari National History Museum, Lonson.

Analisis DNA masih harus dilakukan untuk memastikan semuanya. Namun, terlepas dari spesies baru atau bukan, fosil ini tetap penting karena kondisinya yang masih bagus serta mampu menggambarkan kompleksitas migrasi dan perkembangan spesies manusia.

"Manusia Red Deer Cave hidup di wilayah yang dulu sangat menarik di China, dalam masa yang disebut epipaleolitik atau akhir Zaman Batu. Tak jauh dari Longlin, ada sistus arkeologi tempat bukti awal epipaleolitik di Asia Timur ditemukan. Ini diduduki oleh manusia yang sudah tampak modern dan sudah mulai membuat keramik untuk menyimpan makanan dan mereka mulai memanen padi liar. Ada transisi yang menarik antara berburu dan meramu menuju pertanian," ungkap Curnoe.

Dalam penelitian selanjutnya, Curnoe yang juga bekerja dengan Ji Xueping dari Yunnan Institute of Cultural Relics and Archaeology akan menganalisis artefak budaya dan alat batu yang ditemukan. Mungkinkah manusia gua ini akan menjadi kerabat baru kita? 

Flash Memori Baru Samsung Siap Bikin Ponsel Ngebut


Memori flash perangkat mobile Samsung Embedded Multimedia Card (eMMC) Pro Class 1500, diklaim membuat ponsel dan tablet bekerja 4 kali lebih cepat 
 
 
 
Samsung mulai memproduksi massal memori flash perangkat mobile baru, yang diberi nama Samsung Embedded Multimedia Card (eMMC) Pro Class 1500.

Samsung mengklaim chip penyimpan data ini akan membuat ponsel dan tablet bekerja 4 kali lebih cepat.

Samsung eMMC Pro Class 1500 akan dibuat dalam kapasitas penyimpanan 16GB, 32GB dan 64GB. Memori ini dibuat dengan proses fabrikasi 20nm, dan sepenuhnya dikelola oleh memori NAND.

"Dengan memproduksi Samsung eMMC Pro Class 1500 64GB, kami sangat senang menghadirkan solusi penyimpanan data mobile berkinerja tinggi yang mendukung standar eMMC baru, untuk para pembuat perangkat mobile di seluruh dunia," kata Jaehyeoung Lee, Vice President Memory Product Planning Samsung, seperti dikutip dari blog resmi Samsung Tomorrow, Kamis (2/8/2012).

Samsung menyatakan, eMMC Pro Class 1500 akan meningkatkan kinerja. Ia mampu memuat halaman web lebih cepat, serta  memberi menampilkan gambar lebih baik untuk 3D, game, augmented reality, dan video high definition.

Samsung mulai membuat eMMC pada Januari 2010, tapi baru sekaranglah Samsung memproduksi secara massal memori perangkat mobile.

Terungkap, Rancangan iPad dan iPhone "Jadul"



Prototipe iPad yang masih menampilkan logo iPod di bagian belakangnya.





Prototipe iPad yang menunjukkan adanya sandaran di bagian belakang





Prototipe iPhone berbentuk segi delapan



 

Prototipe iPhone yang berbodi aluminium.





 Dokumen yang diungkap di persidangan menampilkan berbagai bentuk iPad dan iPhone yang sempat dicoba oleh Apple.

Seperti diungkapkan oleh TheVerge, beberapa desain prototipe iPad menunjukkan bentuk yang cukup variatif. Misalnya, iPad sempat dirancang untuk memiliki penyangga.

Hal lain yang terungkap, iPad awalnya dirancang dengan nama iPod. Hal ini terlihat dari nama iPod yang tercantum pada beberapa gambar prototipe tersebut.

Selain iPad, Apple juga menguji berbagai bentuk iPhone. Salah satunya menunjukkan iPhone segi delapan. Ada juga iPhone yang memiliki body aluminium dengan bentuk melengkung.

Dokumen tersebut juga menunjukkan prototipe n90, yaitu perangkat Apple yang kemudian akan menjadi iPhone 4. Bedanya, n90 ini lebih ramping dan panjang.

Wajar saja jika Apple mencoba berbagai rancangan iPad dan iPhone. Perusahaan itu memang terkenal sangat fokus pada bentuk dan tampilan produknya.

Seni Batu Tertua di Australia Ditemukan


Seni batu tertua di Australia karya manusia Aborigin ditemukan di Gua Outback, berusia 28.000 tahun.
 
 
 
 
Arkeolog menemukan sisa-sisa seni gua tertua di Australia yang menjadi salah satu yang tertua di dunia. Seni batu tersebut dibuat oleh suku Aborigin sekitar 28.000 tahun yang lalu di gua Outback.

Hasil penanggalan karbon satu dari sekian ribu seni batu yang ditemukan di wilayah utara gua yang disebut Nawarla Gabarnmang ini akan diterbitkan di Journal of Arcaheological Science edisi mendatang.

Bryce Barker, arkeolog dari University of Southern Queensland mengungkapkan bahwa ia menemukan seni batu tersebut pada Juni 2011 lalu. Penanggalan karbon kemudian dilakukan di University of Waikato di Selandia Baru.

Barker mengatakan, seni batu yang ditemukan dibuat dengan arang sehingga penanggalan sulit dilakukan. Kebanyakan seni batu dibuat dengan cat mineral sehingga penanggalan karbon sulit dilakukan secara akurat.

Yang jelas, Barker, seperti dikutip AP, Senin (18/6/2012), mengatakan, "Ini adalah seni batu tertua yang telah berhasil diidentifikasi sebagai tertua di Australia dan satu diantara yang tertua di dunia."

Sejauh ini, seni batu yang dikatakan tertua di dunia ada di gua El Castillo, Spanyol, berusia 48.000 tahun. Seni batu yang ditemukan berupa stensil tangan dan piringan merah yang didekorasi dengan cat organik dengan cara ditiup.

Sally May, arkeolog dari Australia National University yang tak terlibat studi mengungkapkan bahwa hasil studi Barker sangat signifikan. Selama ini diketahui bahwa manusia telah hidup di gua Outback sejak lama, maka pasti mereka sudah memproduksi seni.

Barker lebih lanjut mengatakan bahwa gua dimana seni batu tertua di Australia tersebut ditemukan telah dihuni manusia sejak 45.000 tahun lalu.   

Korea Selatan Klaim Temukan Sawah Tertua

Sisa-sisa bukti keberadaan sawah tertua di Asia Timur yang ditemukan oleh badan arkeologi Korea Selatan.



Badan arkeologi Korea Selatan mengklaim telah menemukan sawah atau situs pertanian tertua di Asia Timur. Demikian diberitakan kantor berita AP, Rabu (27/6/2012).
Cho Mi-soon dari badan arkeologi Korea Selatan menemukan sisa-sisa area pertanian tersebut di wilayah timur negara tersebut. Sawah itu berasal dari zaman Neolitik, saat manusia mulai menetap dan bertani. Usia sawah itu sekitar 5.600 tahun atau 2.000 tahun lebih tua dari sawah kedua tertua di Asia Timur yang juga ada di Korea Selatan.
Bukti bahwa usia sawah tersebut tertua, kata Cho, terlihat dari jejak gerabah dan rumah yang ada di sekitarnya. Sisa-sisa telah dianalisis dan dikonfirmasi berasal dari masa Neolitik.

Alat Musik Tertua Ditemukan

Seruling purba, alat musik tertua yang ditemukan di Jerman, berusia 42.000 - 43.000 tahun.



Ilmuwan asal Inggris dan Jerman berhasil menemukan alat musik tertua, yang diperkirakan berasal dari masa 42.000-43.000 tahun lalu.

Alat musik yang ditemukan berupa seruling purba, terbuat dari tulang burung dan gading gajah purba. Ilmuwan menemukan ketika melakukan penggalian di Gua Geissenkloesterle, Swabian Jura, Jerman.

Tom Higham dari Universitas Oxford dan Mick Conard dari Universitas Tubingen adalah peneliti di balik penemuan alat musik ini.

Conard mengatakan, penemuan ini konsisten dengan hipotesis yang kami buat beberapa tahun lalu bahwa Sungai Danube adalah koridor kunci migrasi dan inovasi teknologi di Eropa Tengah 40.000-45.000 tahun lalu.

"Geissenkloesterle ialah satu dari beberapa gua tempat ditemukannya contoh penting ornamen personal, seni rupa, gambar mistik, dan alat musik," kata Conard seperti dikutip BBC, Jumat (25/5/2012).

Ilmuwan berpendapat, alat musik pada masa itu berfungsi untuk rekreasi dan mendukung ritual keagamaan.

Selain itu, bermain alat musik juga menunjukkan keunggulan manusia dibandingkan dengan Neanderthals. Musik pun membantu memelihara hubungan sosial sehingga manusia mampu memperluas teritorinya.

Bagi ilmuwan, penemuan ini tak hanya berharga karena bisa menemukan alat musik tertua.

Tom Higham, seperti dikutip IBTimes, Sabtu (26/5/2012), mengatakan, "Penentuan umur alat ini penting untuk menyusun kronologi guna menguji gagasan bagaimana manusia menyebar ke Eropa, serta proses yang menghasilkan inovasi, termasuk seni rupa dan musik."

Hasil penelitian ini dipublikasikan di Journal of Human Evolution pada 8 Mei 2012. 

Rangka "Vampir" Ditemukan di Bulgaria

Rangka vampir. Selain di Bulgaria, rangka juga ditemukan di Irlandia.


Rangka "vampir" ditemukan dalam sebuah penggalian di wilayah Laut Hitam, kota Sozopol, Bulgaria. Rangka tersebut berasal dari Zaman Pertengahan, sekitar 800 tahun lalu, ditemukan dengan batang besi yang menancap di dada.

Para arkeolog mengungkapkan, penemuan batang besi yang menancap di dada menunjukkan adanya ritual melawan vampir pada masa tersebut.

"Praktik ini umum di beberapa wilayah desa Bulgaria hingga dekade pertama abad 20," kata Bozhidar Dimitrov, Kepala National History Museum Sofia.

Penemuan rangka ini adalah yang kesekian kalinya di Eropa. Lebih dari 100 rangka ditemukan di wilayah Bulgaria saja.

Arkeolog menuturkan, vampir yang dipahami di Bulgaria bukanlah vampir peminum darah seperti yang digambarkan di beragam film Hollywood.

Vampir yang dimaksud terkait dengan mayat orang-orang yang terserang wabah penyakit pada tahun 1300-1700, yang telah mengalami dekomposisi.

Kala wabah penyakit melanda, tempat penguburan sering dibuka kembali untuk mengubur jenazah baru korban penyakit. Kadang, orang menjumpai mayat dengan kain kafan di muka berlubang, gigi dan rambut masih tumbuh, serta darah keluar dari bagian mulut.

Sebenarnya, kain kafan yang berlubang disebabkan karena bakteri. Namun, saat itu dipahami bahwa penyebabnya adalah vampir yang merajalela. Batang besi yang ditancapkan berguna untuk mencegah mayat bangkit lagi dan meneror warga sekitar.

Seperti diberitakan Discovery, Rabu (6/6/2012), praktik melawan vampir juga berkembang di wilayah Serbia dan Balkan.

Sisa-sisa Gedung Teater Shakespeare Ditemukan

Museum of London Archaeology Penggalian para arkeolog menemukan sisa-sisa The Curtain, tempat Shakespare mepertunjukkan karya-karyanya.


Arkeolog Inggris pada Rabu (6/6/2012) mengumumkan penemuan sisa-sisa teater tempat karya-karya Shakespeare pernah dipentaskan, yaitu The Curtain Theatre.
Sisa-sisa yang ditemukan berupa struktur poligon yang khas bangunan gedung teater abad ke-16. Sisa-sisa ditemukan di dekat pub wilayah Shoreditch, sebelah timur kawasan bisnis di London.
The Curtain dibuka pada tahun 1577. Tempat ini menjadi rumah bagi kelompok Shakespeare, the Lord Chamberlain's Men dari tahun 1597 hingga 2 tahun kemudian, saat Globe Theatre dibuka.
Beberapa karya Shakespeare yang dipentaskan di panggung The Curtain antara lain "henry V" dan diduga "Romeo and Juliet".
Selama di The Curtain, kelompok Shakespeare memiliki pengalaman yang tak begitu bagus. Mereka mengintip segala macam kegiatan, tetapi kurang tertarik pada pertunjukannya sendiri.
Sebelum di The Curtain, kelompok Shakespeare sempat manggung di The Theatre. Sementara itu, setelah di The Curtain, tepatnya tahun 1599, kelompok Shakespeare manggung di Globe Theathre.
The Curtain sendiri merupakan salah satu gedung teater pertama yang bertahan lama di Inggris. Gedung ini paling tidak bertahan hingga tahun 1620.
Selain The Curtain, The Theatre juga merupakan salah satu gedung teater tertua. Reruntuhannya ditemukan pada tahun 2008, di dekat lokasi The Curtain.
Heather Knight, arkeolog senior Museum London, mengatakan bahwa selain penemuan yang mengagumkan, masih banyak hal yang bisa dipelajari dari gedung-gedung teater tua.
"Akhir abad ke-16 merupakan era perlombaan teater di London," ungkap Knight, seperti dikutip Physorg, Rabu (6/6/2012).
Pada abad ke-16, pemilik gedung melakukan perbaikan sehingga mampu menarik pengunjung. Kini, kesempatan untuk "melihat kembali" gedung-gedung tua itu nyata.

Tembok Besar China Ternyata Dua Kali Lipat Lebih Panjang

Tembok Besar China 
 
 
 Tembok Besar China ternyata jauh lebih panjang dari yang diperkirakan sebelumnya. Hal ini terungkap dari hasil survei Badan Urusan Kepurbakalaan China (SACH) sejak tahun 2007 di 15 provinsi di China.

Panjang Tembok Besar China sebelumnya pada tahun 2009 diperkirakan 8.850 km. Dalam penelitian terbaru, panjang bangunan bersejarah ini ternyata 21.196,18 km. Dengan demikian, panjang Tembok Besar China ternyata lebih dari dua kali lipat dibanding perkiraan sebelumnya.

Tongko Mingkan, Kepala Deputi SACH, mengatakan, untuk mengukur panjang Tembok Besar, sejumlah 43.721 situs purbakala diidentifikasi. Sejumlah tembok, reruntuhan, bagian pertahanan, celah sempit, dan bagian Tembok Besar lain diteliti.

Bangunan yang ditetapkan sebagai World Heritage sejak 1987 ini dikenal dengan "Tembok Panjang 10.000 Li". Tembok Besar adalah bangunan besar pertama yang dibangun manusia, terbuat dari batu, batu bata, dan bahan lain. Konstruksi Tembok Besar dimulai pada abad ke-7 SM.

Bangunan yang juga berfungsi untuk pertahanan tersebut kali pertama digunakan oleh Kaisar Qin Shi Huang pada tahun 220 SM untuk melindungi China dari serangan kalangan perampok dari wilayah utara.

Setelah masa tersebut, beberapa dinasti terus mempertahankan dan merenovasi Tembok Besar. Mayoritas dari struktur yang masih kokoh saat ini adalah yang dibangun kembali pada masa Dinasti Ming pada tahun 1364-1644.

Saat ini, dari seluruh bangunan hasil rekonstruksi Dinasti Ming, hanya 8,2 persen yang masih utuh. Sisanya dalam kondisi memprihatinkan. Banyak bagian telah runtuh, rusak, oleh aktivitas manusia dan pariwisata.

Seperti diberitakan Discovery, Kamis (7/6/2012), SACH akan merumuskan panduan untuk perlindungan Tembok Besar serta menyusun sistem pengawasan sehingga upaya pelestarian bangunan bersejarah ini akan berjalan.

Bebatuan yang Berkisah

Danau Toba terlihat dari Pulau Samosir, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Sabtu (23/7/2011). Danau Toba adalah danau terbesar di Indonesia. Danau hasil volcano tektonik terbesar di dunia, dengan panjang danau 87 kilometer dan lebar 27 kilometer, terbentuk dari letusan gunung berapi raksasa (supervolcano) yang terjadi sekitar 75 ribu tahun lalu.



Tanah putih nan rapuh tersusun berlapis hingga dua meter. Beberapa lembar daun tercetak di dalamnya. Berserak di pinggir jalan Simbolon-Pangururan di Pulau Samosir, lapisan  itu sesungguhnya endapan ganggang dan fosil dedaunan yang berumur puluhan ribu tahun. Fosil yang menjadi bukti penting denyut magma di bawah Danau Toba.
Bagi warga sekitar, fosil daun dan ganggang yang berada 38 meter dari permukaan air danau itu hanyalah gundukan, yang sering dikira sebagai batuan kapur biasa. "Saya tidak pernah tahu kalau itu fosil ganggang," kata Astri Sinurat (25), warga Pangururan.
Namun, bagi para ahli geologi lapisan tanah itu adalah subyek amatan sangat penting untuk memahami dinamika gunung api raksasa (supervolcano) yang bersemayam di bawah Danau Toba (baca:Kaldera Toba). Tak hanya di Simbolon-Pangururan, fosil ganggang juga ditemui nyaris di seluruh lapisan tanah di Samosir.
"Fosil ganggang menguatkan bukti-bukti tentang pengangkatan Pulau Samosir dari dasar danau," kata Indyo Pratomo, geolog dari Museum Geologi Indonesia, yang menyingkap lapisan ganggang dan fosil itu, Juli 2011.
Keberadaan fosil ini ibarat jejak yang dipahatkan alam di masa silam bahwa permukaan tanah di Pulau Samosir itu dulunya pernah terendam air, karena ganggang hanya bisa hidup di dalam air. Selama puluhan ribu tahun, dasar danau yang berkedalaman hingga 500 meter itu perlahan naik hingga membentuk Pulau Samosir di atas Pulau Sumatera.
Pengangkatan itu, menurut Indyo, terjadi pascaletusan terakhir Gunung Toba (Youngest Toba Tuff/YTT) sekitar 74.000 tahun lalu. Sebelum itu Toba juga pernah meletus sekitar 501.000 tahun lalu (Middle Toba Tuff, MTT) dan sekitar 840.000 tahun lalu (Oldest Toba Tuff, OTT). CA Chesner, geolog dari Eastern Illinois University dan WI Rose, geolog dari Michigan Technology University pada 1991, yang meneliti usia rempah vulkanik di sekitar Toba melalui radioaktif Argon-argon (40Ar/39Ar) menemukan, material bebatuan Samosir berusia sekitar 74.000 tahun lalu, atau seusia letusan YTT.
Setelah meletus hebat, Kaldera Toba tertutup bebatuan beku. Air kemudian mengisi kaldera hingga membentuk danau. Ganggang mulai hidup di dalam danau itu. Di tepiannya, semak dan pepohonan tumbuh menghijau. Beberapa daunnya luruh dan terendapkan di antara lebatnya ganggang di dalam air.
Sebagaimana kehidupan baru yang mulai tumbuh di dalam danau, magma nun jauh di bawah bumi terus menggeliat, mencari jalan keluar ke permukaan bumi. Dapur magma yang sebelumnya terkuras saat letusan YTT, kembali terisi. Magma itu kemudian mendesak bebatuan penyumbatnya ke atas.
Perlahan, sebagian dasar kaldera itu pun terangkat naik mengikuti gaya dorong magma di bawahnya. Dasar danau di bagian tengah yang semula terendam mulai muncul ke permukaan mencipta daratan baru. Ganggang dan dedaunan yang terendapkan di dasar danau juga turut terangkat naik. "Butuh penelitian lanjutan untuk mengetahui apakah proses pengangkatan itu masih terjadi sampai sekarang. Sejauh ini belum ada yang menelitinya," kata Indyo.
Sedemikian kuatkah dorongan magma Toba sehingga mampu mengangkat dasar danau sedalam ratusan meter hingga membentuk pulau?
CA Chesner, geolog dari Eastern Illiois University, menyebutkan, saat meletus pada 74.000 tahun lalu, Toba melontarkan 2.800 kilometer kubik magma, Inilah letusan berskala 8 dalam Volcano Explosivity Index (VEI), terkuat dalam 2 juta tahun terakhir.
Luncuran awan panas letusan YTT mencapai area seluas 20.000 km2. Awan panas itu menimbun nyaris seluruh daratan Sumatera mulai dari Samudera Hindia di sebelah barat hingga Selat Malaka di sebelah timur dengan ketebalan material rata-rata 100 m dan di beberapa area mencapai 400 meter.
Jejak letusan
Indyo menghadirkan narasi tentang letusan raksasa Toba itu, melalui jejak bebatuan yang berserak di sekitar Danau Toba. Salah satunya melalui bebatuan di pinggir jalan Kabanjahe-Doloksanggul, sekitar 30 km dari tepi Danau Toba.
Sekalipun bagi mata awam, tebing yang terkelupas karena penambangan itu barangkali hanyalah tanah biasa, namun di mata Indyo, itu adalah bukti-bukti nyata pernah terjadinya letusan raksasa.
Bersama Indyo pada pertengahan Juli 2011 itu, kami menyusuri jejak perjalanan geolog Belanda, Van Bemmelen (1939) yang untuk pertama kali menemukan limpahan material vulkanik yang menutupi seluruh kawasan sekitar Danau Toba. Bemmelen adalah orang yang pertama kali menyimpulkan bahwa danau ini terbentuk dari letusan gunung api.
"Tinggi tebing yang tersusun dari batu apung di kawasan ini bisa mencapai lebih dari 50 meter. Tak adanya pelapisan, menunjukkan material ini dilontarkan seketika saat letusan. Padahal ini belum dasarnya," Indyo menggambarkan kedahsyatan letusan itu.
Letusan itu membentuk awan panas, lalu runtuh dan menimbun kawasan sekitarnya. Kedalaman timbunan awan panas di sekitar Danau Toba, diperkirakan mencapai lebih dari 100 meter. Kombinasi kegiatan volkano-tektonik di kawasan Toba, menurut Indyo, juga memicu terjadinya runtuhan dan pengangkatan lapisan bumi, yang mengakibatkan tersingkapnya batuan dasar dari periode permo-karbon, yaitu sekitar 300 juta tahun yang lalu.
"Kami menyebut bebatuan itu formasi bahorok, karena batu yang sama ditemukan di kawasan Bahorok. Asalnya sebenarnya dari Gondwana, benua raksasa di masa lalu yang berada di belahan bumi selatan," kata Indyo.
Benua raksasa ini terpecah dan mengapung saat mencairnya zaman es dan terbawa hingga ke Sumatera. Batuan itu berwarna hitam, berbentuk pipih, dan berlapis-lapis, dengan noda-noda berwarna kuning. "Batuan ini juga sering disebut sebagai batu sabak yang dipakai untuk buku tulis di masa lalu. Bentuknya pipih dan warnanya hitam. Batu sejenis bisa ditemukan di sekitar Pegunungan Himalaya," kata Indyo.
Letusan Toba, menurut Indyo, sangat kuat dan unik. "Di gunung-gunung lain tak pernah dilihat batuan dasar yang terbongkar akibat letusan. Bahkan letusan Gunung Tambora, yang terkuat di dunia modern, tak pernah ditemukan batuan dasarnya," katanya.
Supervolcano Toba memang gunung super, yang letusannya berdampak global, bahkan dipercaya telah mengubah perjalanan manusia modern (Homo sapiens).  Saat Toba meletus, spesies homo sapiens yang menjadi nenek moyang manusia modern nyaris punah. Migrasi terhenti dan mereka terisolasi di suatu tempat di Afrika, seperti yang terekam dalam kemiripan genetika manusia modern di seluruh penjuru dunia.
Inilah periode population bottlenecks yang mengundang tanda tanya para ahli selama puluhan tahun, yang belakangan sering dihubungkan dengan letusan Gunung Toba. Dengan riwayat yang sedemikian hebat ini, sebagian besar masyarakat di nusantara mengenal Danau Toba lebih karena keindahannya semata dan kekayaan budaya masyarakat yang mendiaminya.
Para pemangku kepentingan, pemandu wisata, para turis asing, bahkan warga yang bertahun-tahun mendiami Kaldera Toba kebanyakan tak paham bahwa di balik keindahan Toba terdapat sejarah mahapenting tentang letusan Supervolcano Toba, yang letusannya telah mengubah dunia.
Kebanyakan warga Samosir tidak mengetahui bahwa daratan yang mereka diami dulunya merupakan dasar danau yang terbentuk dari proses vulkano-tektonik sangat dahsyat. Ifi D Sitanggang (25), warga Samosir, mengatakan, kebanyakan warga memahami Pulau Samosir maupun Danau Toba dari mitos dan dongeng yang dikisahkan orang tua.
Nurlela (40) juga tinggal berpuluh tahun dan hidup dari Kaldera Toba. Perempuan asli Tomok ini sehari-hari berdagang ikan pora-pora, ikan kecil yang banyak terdapat di danau ini. Sedangkan, suaminya bertani. Bagi  Nurlela, air  Danau Toba, batuan, dan tanah Samosir sebatas tempat mencari penghidupan.
Tak pernah terlintas dalam benak Nurlela betapa dahulu di tempatnya hidup itu pernah berdiri gunung yang letusannya mengubah dunia.

Fosil Bangau Raksasa Ditemukan di Flores

  Big bird: This artists impression shows how the Leptoptilos robustus would have towered over the prehistoric Homo Florensiensis on the island of Flore


Menurut Zoological Journal of the Linnean Society, fosil bangau putih raksasa ditemukan di Pulau Flores. Peneliti mengatakan, penemuan fosil bangau ini penting untuk mempelajari evolusi manusia purba yang juga ditemukan di pulau ini, Homo floresiensis.

Bangau putih yang diberi nama Leptoptilos robustus itu memiliki tinggi 1,8 meter dan berat hingga 16 kilogram, membuatnya paling tinggi dan paling berat di antara spesies bangau lainnya.

Paleontolog Hanneke Meijer dari National Museum of Natural History di Leiden, Belanda, menemukan fosil ini bersama koleganya, Dr Rokus Due dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Jakarta. Mereka menemukan empat tulang kaki di Gua Liang Bua, Pulau Flores. Tulang-tulang ini diyakini merupakan bagian dari seekor bangau yang hidup antara 20.000 dan 50.000 tahun lalu.

"Saya menyadari tulang-tulang bangau raksasa ini pertama kali di Jakarta, saat mereka disandingkan dengan tulang-tulang yang lebih kecil lainnya. Menemukan burung besar adalah hal biasa di pulau itu. Tapi saya tidak menyangka menemukan bangau putih raksasa," kata Dr Meijer.

Tidak ada tulang sayap yang ditemukan. Para peneliti menyangka bangau ini jarang atau bahkan tidak pernah terbang. Ukuran dan berat tulang kaki serta ketebalan dinding tulang menunjukkan bangau ini sangat berat sehingga menghabiskan sebagian besar hidupnya di darat.Spesies Pulau Flores
Penemuan spesies raksasa bukan hal baru di Pulau Flores. Para peneliti telah menemukan makhluk-makhluk kerdil, seperti gajah kerdil Stedgodon florensis insularis dan komodo Varanus komodoensis. Di pulau ini pula para ilmuwan menemukan fosil manusia kerdil, Homo floresiensis, yang hanya memiliki tinggi satu meter.

Fenomena perubahan ukuran ini dikenal sebagai faktor pulau dan dipicu beberapa predator yang ada di pulau tersebut. Akibatnya, hewan-hewan yang menjadi mangsa makin kecil, sedangkan hewan predator semakin besar. "Mamalia yang besar seperti gajah dan primata menunjukkan penurunan ukuran. Sementara itu, mamalia kecil seperti hewan pengerat dan burung ukurannya membesar," urai Dr Meijer.

Adapun Homo floresiensis ditemukan pada tahun 2004. Sampai saat ini, para peneliti masih memperdebatkan status Homo floresiensis. Ilmuwan masih mempertanyakan apakah manusia kerdil yang hidup 12.000 hingga 8.000 tahun yang lalu itu termasuk Homo erectus atau Homo sapiens.
"Status Homo floresiensis menjadi bahan perdebatan semenjak ditemukan. Menurut saya, bangau putih raksasa ini penting untuk memahamai evolusi Homo floresiensis. Ada spekulasi kalau bangau putih raksasa ini memakan Homo floresiensis. Meski tidak ada bukti, kemungkinannya tidak bisa dikesampingkan," cetus Dr Meijer.

Hingga kini belum jelas mengapa bangau raksasa, gajah kate, dan manusia purba itu punah. "Tapi, kami memiliki beberapa petunjuk. Semua tulang bangau putih raksasa seperti juga gajah kate dan manusia kerdil ditemukan di bawah lapisan tebal debu vulkanik. Kemungkinan ada erupsi gunung api. Kedua, bangau putih raksasa dan makhluk sezamannya punah sebelum manusia modern muncul di gua itu," pungkas Dr Meijer.

Dua Bangunan Candi di Pati Diekskavasi

Candi induk yang ditemukan di Desa Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.


Tim Balai Arkeologi Yogyakarta dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah berhasil mengekskavasi dua bangunan candi di Desa Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Hasil ekskavasi menunjukkan bahwa dua candi tersebut berada di satu kompleks percandian. Satu candi merupakan candi induk, sementara candi lain merupakan candi perwara.

"Arsitektur candi sudah berhasil diketahui. Candi induknya berbentuk bujur cangkar dengan ukuran 5,9 x 5,9 meter. Sementara candi perwara berukuran 2,7 x 4,6 meter," ungkap Rita Istari, ketua tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta.

Tim juga berhasil mengetahui arah candi. Untuk candi induk menghadap ke arah barat, sementara candi perwara menghadap ke timur, ke arah candi induk.

Rita yang dihubungi Kompas.com, Rabu (18/7/2012), menuturkan, bagian candi yang masih utuh adalah dasar atau batur candi. Menurut hasil pengukuran, bagian batur candi memiliki tinggi 77 cm. Bagian atap dan tubuh candi sudah runtuh.

"Candi ini diperkirakan berasal dari abad 8-10 Masehi, sezaman dengan Borobudur," ungkap Rita.

Rita mengatakan, untuk memastikan usia candi tersebut, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan prasastinya. Prasasti yang ditemukan bisa mengonfirmasi tahun pembangunan candi secara pasti.

Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta, Siswanto, menuturkan bahwa candi yang ditemukan ialah candi Hindu. Konfirmasi usia candi bisa menggambarkan kondisi saat candi dibangun.

"Kalau candi ini lebih tua dari Prambanan dan Borobudur, berarti dibangun saat upaya penyebaran Hindu ke Indonesia. Kalau lebih muda, berarti dibangun oleh kerajaan di Indonesia," ungkap Siswanto.

Rita mengatakan bahwa candi yang ditemukan langka karena terbuat dari batu bata. Sementara Siswanto menuturkan bahwa penemuan candi ini semakin menambah referensi tentang penyebaran Hindu di wilayah pantai utara Jawa. 

Temuan Candi di Pati Langka

Candi perwara yang ditemukan di Desa Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.


Tim Balai Arkeologi Yogyakarta berhasil mengekskavasi candi di Desa Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Dua candi yang diekskavasi ialah satu kompleks percandian, satu merupakan candi induk, sementara yang lain adalah candi perwara.

Pihak Balai Arkeologi Yogyakarta menyatakan bahwa temuan candi Hindu ini langka dilihat dari sisi material bangunan dan lokasi penemuannya.

"Candi ini diperkirakan berasal dari abad ke 8 sampai 10. Material bangunannya terbuat dari batu bata merah," ungkap Rita Istari, ketua tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta saat dihubungi Kompas.com, Rabu (18/7/2012).

Rita menjelaskan, bangunan candi dengan material bata merah relatif langka di Jawa Tengah, apalagi pada abad 8-10.

Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta, Siswanto, mengatakan bahwa selama ini terdapat dikotomi bahwa candi-candi di Jawa Timur banyak yang terbuat dari bata merah dan di Jawa Tengah terbuat dari batu.

"Dengan adanya penemuan ini, maka terbukti bahwa dikotomi itu tidak selalu benar," jelas Siswanto.

Material bangunan dari batu bata juga menunjukkan bahwa candi-candi kuno tak selalu dibangun dengan batu. Masyarakat atau kerajaan bisa saja membangun candi dengan material yang melimpah di sekitarnya.

"Kalau di wilayah dekat Pati, banyak material batu bata merah, jadi itu yang dipakai. Kalau mendatangkan batuan dari pegunungan untuk membuat candi, itu tidak mungkin sebab akan jadi pekerjaan berat," papar Rita.

Dari sisi lokasi, candi di Pati juga termasuk langka. Selama ini, mayoritas candi Hindu terdapat di wilayah yang tinggi karena Hinduisme menghormati gunung. Penemuan candi di dataran rendah relatif sedikit, diantaranya hanya di Tegal.

"Penemuan ini bisa menambah referensi tentang penyebaran Hindu di Indonesia," papar Siswanto.

Usia candi harus dipastikan. Jika candi lebih tua dari Borobudur dan Prambanan, maka candi dibangun saat masa penyebaran, tapi jika lebih muda maka dibangun oleh kerajaan Hindu yang berjaya di Indonesia.

Candi di Desa Kayen sebenarnya telah ditemukan oleh warga pada Mei 2011 lalu. Penemuan candi berawal dari keinginan warga untuk membangun mushola di lokasi candi.

Temuan kemudian dilaporkan ke Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah kemudian ditindaklanjuti oleh Balai Arkeologi Yogyakarta. September tahun lalu, langkah ekskavasi telah dilakukan. Langkah yang sama lalu ditindaklanjuti baru-baru ini.

Hasil ekskavasi terbaru berhasil mengungkap arsitektur candi. Bagian candi induk berbentuk bujur sangkar dengan ukura 5,9 x 5,9 meter dan menghadap ke barat. Candi perwara berukuran 2,7 x 4,6 meter dan menghadap ke timur.

"Saat ini kami juga menemukan bagian yang diduga merupakan pintu masuk candi," kata Rita yang juga menjelaskan bahwa bangunan candi yang utuh hanya bagian dasar atau baturnya. 

Patiayam Juga Menyimpan Fosil Banteng Purba

ilustrasi


Tim arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta menemukan tiga buah kapak genggam atau "chopper" purba dalam penggalian di dekat Balai Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

"Tiga buah `chopper` (alat penetak/pemotong) tersebut, meliputi jenis pemukul dua buah dan jenis pemotong satu buah. Ketiganya ditemukan pada Sabtu (11/2) bersamaan dengan temuan tulang belikat banteng purba," kata Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta Siswanto, di Kudus, Jawa Tengah, Senin.

Ia mengatakan, "chopper" maupun tulang belikat banteng purba tersebut diperkirakan berusia sekitar 750.000 tahun yang lalu.

Adapun bahan yang digunakan untuk membuat alat pemotong, katanya, diidentifikasi berasal dari batu kapur percikan, sedangkan jenis batu pemukul terbuat dari batu andesit.

Sebetulnya, kata dia, "chopper" bisa terbuat dari aneka macam batu, seperti batu andesit maupun batu kapur.

Temuan tersebut, katanya, berasal dari satu kotak ekskavasi yang berada di dekat Kantor Balai Desa Terban, sekaligus menambah koleksi temuan dari Situs Patiayam yang ada di desa ini.

Proses penggalian di dekat Balai Desa Terban baru pertama dilakukan, setelah sekian lama tim arkeolog dari Yogyakarta tersebut melakukan penelitian di Desa Terban, khususnya di kawasan situs Patiayam.

Berdasarkan hasil identifikasi persebaran fosil yang ada di kawasan Situs Patiayam di Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, tim arkeolog dari Yogyakarta mengidentifikasi kawasan situs yang perlu dilestarikan dari kerusakan mencapai 20 kilometer.

Diselamatkan

Dengan adanya pemetaan persebarah fosil di Situs Patiayam, kata dia, diharapkan bisa dijadikan dasar secara akademis untuk diselamatkan dari berbagai kemungkinan yang bisa merusak, seperti dijadikan kawasan galian C.

Kegiatan yang akan dilakukan selama tujuh hari sejak Selasa (7/2), yakni melakukan penelitian untuk mencari jejak budaya guna mengungkap persebarah fosil, serta kegiatan penggalian untuk penentuan dan identifikasi lapisan formasi batuan yang ada di dekat Balai Desa Terban.

Hasil kegiatan tersebut, akan dimasukkan ke dalam peta dasar yang sudah tersedia sebelumnya, guna mengetahui persebaran fosil yang pernah ditemukan sebelumnya.

Adapun jumlah personel yang akan diterjunkan, sebanyak delapan orang yang berasal dari Balar Yogyakarta serta ditambah tenaga dari masyarakat setempat.

Koleksi fosil yang sebelumnya ditemukan di kawasan Situs Patiayam, yakni Stegodon Trigonochepalus (gajah purba), Elephas Sp (juga sejenis gajah purba), Ceruss Zwaani dan Cervus Lydekkeri Martin (sejenis rusa), dan Rhinoceros Sondaicus (badak).

Juga ditemukan Brachygnatus Dubois (babi), Felis Sp (macan), Bos Bubalus Palaeokarabau (sejenis kerbau), dan Bos Banteng alaeosondaicus, serta Crocodilus sp (buaya).

Sedangkan hasil temuan dari tim ahli yang melakukan penelitian serta penggalian di lokasi situs Patiayam, yakni kaki gajah, pecahan tulang iga dari kerbau purba, gigi dan tulang rusa, tulang iga dan tulang kaki kerbau, masing-masing ditemukan pada bulan November 2007.

Bahkan, sejumlah warga sekitar juga menemukan fosil serupa di pegunungan Patiayam, terutama petani yang menggarap pertanian di pegunungan tersebut.

Pada Maret 2010 lalu, masyarakat juga menyerahkan 38 fosil hasil temuan di kawasan Situs Patiayam kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kudus.

Fosil tersebut meliputi fosil gajah, kerbau, banteng, rusa, dan badak sebagai fosil terbaru.

Dua Bangunan Candi di Pati Diekskavasi

Candi induk yang ditemukan di Desa Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.


Tim Balai Arkeologi Yogyakarta dan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah berhasil mengekskavasi dua bangunan candi di Desa Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

Hasil ekskavasi menunjukkan bahwa dua candi tersebut berada di satu kompleks percandian. Satu candi merupakan candi induk, sementara candi lain merupakan candi perwara.

"Arsitektur candi sudah berhasil diketahui. Candi induknya berbentuk bujur cangkar dengan ukuran 5,9 x 5,9 meter. Sementara candi perwara berukuran 2,7 x 4,6 meter," ungkap Rita Istari, ketua tim peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta.

Tim juga berhasil mengetahui arah candi. Untuk candi induk menghadap ke arah barat, sementara candi perwara menghadap ke timur, ke arah candi induk.

Rita yang dihubungi Kompas.com, Rabu (18/7/2012), menuturkan, bagian candi yang masih utuh adalah dasar atau batur candi. Menurut hasil pengukuran, bagian batur candi memiliki tinggi 77 cm. Bagian atap dan tubuh candi sudah runtuh.

"Candi ini diperkirakan berasal dari abad 8-10 Masehi, sezaman dengan Borobudur," ungkap Rita.

Rita mengatakan, untuk memastikan usia candi tersebut, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menemukan prasastinya. Prasasti yang ditemukan bisa mengonfirmasi tahun pembangunan candi secara pasti.

Kepala Balai Arkeologi Yogyakarta, Siswanto, menuturkan bahwa candi yang ditemukan ialah candi Hindu. Konfirmasi usia candi bisa menggambarkan kondisi saat candi dibangun.

"Kalau candi ini lebih tua dari Prambanan dan Borobudur, berarti dibangun saat upaya penyebaran Hindu ke Indonesia. Kalau lebih muda, berarti dibangun oleh kerajaan di Indonesia," ungkap Siswanto.

Rita mengatakan bahwa candi yang ditemukan langka karena terbuat dari batu bata. Sementara Siswanto menuturkan bahwa penemuan candi ini semakin menambah referensi tentang penyebaran Hindu di wilayah pantai utara Jawa. 

Tas Tangan Tertua di Dunia Berhias Gigi Anjing

Gigi anjing menjadi ornamen hiasan tas tangan tertua di dunia.


Arkeolog menemukan tas tangan tertua di dunia lewat penggalian di sebuah kawasan pemakaman dekat kota Leipzig, Jerman. Penutup tas gaya dari Zaman Batu tersebut berhiaskan gigi anjing yang berasal dari masa 2.500-2.200 Sebelum Masehi.

Temuan tas ini sangat spesial. "Inilah pertama kalinya kita bisa menunjukkan bukti langsung adanya tas seperti ini," kata Susanne Friederich dari Sachsen-Anhalt State Archaeology and Preservation Office seperti dikutip National Geographic, Rabu (27/6/2012).

Frederich sebenarnya tidak secara langsung menemukan tas. Kulit atau kain yang menjadi bagian tas itu telah lenyap setelah ribuan tahun. Sisa-sisa yang ia temukan adalah gigi anjing yang tersusun rapi. Frederich menduga bahwa gigi tersebut menjadi ornamen penghias bagian tutup tas.

Gigi anjing penghias tas tangan tersebut ditemukan di wilayah seluas 100 hektar, yang pada tahun 2015 akan dibuka menjadi kawasan pertambangan. Di tempat itu telah ditemukan lebih dari 300 pemakaman, ratusan alat batu, anak tombak, gerabah, kancing batu, dan kalung amber. Ada pula perhiasan emas seberat 0,5 kg dari masa 50 SM.

Gigi anjing dan gigi hewan lain seperti serigala tampaknya menjadi ornamen idola saat itu. Bahan-bahan itu membuat tas menjadi lebih fashionable pada masanya. Selain gigi, cangkang mollusca juga menjadi salah satu ornamen penting. Bukti nyatanya adalah adanya selimut berhiaskan cangkang itu.

Baik tas maupun selimut dan perhiasan diduga menjadi penghias mayat yang akan dikuburkan. Ini terbukti dari penemuan di lokasi dekat pemakaman. Orang yang dikubur di pemakaman tersebut sepertinya orang yang spesial sebab tak semua orang dari Zaman Batu dikubur dekat perhiasan lengkap. 

Kutang Modis Ada sejak 600 Tahun Lalu

Kutang kuno berasal dari masa 600 tahun lalu.


Penemuan baru mengubah pemahaman tentang sejarah pakaian dalam. Arkeolog dari University of Insbruck menemukan sisa-sisa kutang dari masa 600 tahun lalu, menunjukkan bahwa jenis pakaian dalam tersebut eksis lebih awal dari dugaan.
Kutang tersebut ditemukan di sebuah kastil di Austria, merupakan peninggalan dari abad pertengahan. Kutang terbuat dari bahan linen.
Sebenarnya, kutang sudah ditemukan pada tahun 2008. Namun, informasi baru menyebar ke publik setelah penemunya, Beatrix Nutz, mengungkap temuannya kepada BBC History Magazine.
Ilmuwan dan pakar fashion terkejut dengan penemuan ini. Sebelumnya, dipercaya bahwa pakaian dalam yang berkembang lebih dulu adalah korset.
Kutang baru berkembang sekitar 100 tahun lalu ketika perempuan mulai mengabaikan korset yang ketat.
Dengan temuan ini, maka diketahui bahwa kutang juga berkembang sejak lama.
"Kami tak memercayai penemuan ini sendiri. Dari yang kami tahu, tak ada pabrik garmen memproduksi kutang pada abad ke-15," kata Beatrix Mutz dari University of Insbruck, penemu kutang tersebut, seperti dikutip AP, Kamis (9/7/2012).
Riset menunjukkan, kutang yang ditemukan tak cuma fungsional. Hiasan serupa dengan kutang modern seperti renda dan ornamen lainnya juga didapatkan.
Selain itu, kutang ini juga dilengkapi cup. Tali kutang, meskipun sudah hancur, tanda keberadaannya dapat dikenali.
Hillary Davidson, kurator fashion dari Museum London, mengatakan bahwa kutang ini adalah missing link dalam perkembangan pakaian dalam perempuan.
Kutang sendiri dipercaya baru berkembang pada awal abad ke-19 dan dibuat kali pertama oleh Mary Phelps Jacob, sosialite asal New York, yang tak puas dengan korset.

Selain kutang, di Lemberg Castle di Tyrol, peneliti juga menemukan sepasang panties. Namun menurut Nutz, panties tersebut diduga merupakan pakaian laki-laki.
Celana dalam diduga merupakan simbol dominasi dan kekuasaan laki-laki pada masa itu.

Kuil Kuno Maya Ditemukan di Guatemala

Edwin Roman,arkeolog dari University of Austin, bersama dekorasi dinding yang menunjukkan "Matahari Malam" dalam temuan terbaru di situs Zotz di Guatemala.


Arkeolog menemukan kuil kuno Maya yang berusia 1.600 tahun yang diduga merupakan tempat pemujaan kepada Matahari. Kuil itu ditemukan di situs arkeologi El Zotz, 550 km utara Guatemala City.

"Matahari merupakan unsur penting dalam kebudayaan maya. Matahari adalah sesuatu yang terbit setiap hari, menyinari setiap sudut dan celah, seperti halnya kekuasaan raja," kata Stephen Houston, profesor Brwon University yang terlibat penelitian.

"Bangunan ini adalah salah satu yang merayakan hubungan erat antara raja dan kekuatan yang paling kuat dan dominan di semesta," imbuh Houston yang bersama rekannya telah mempelajari situs El Zotz sejak tahun 2006 lalu.

Arkeolog mengatakan, kuil yang ditemukan sengaja dibangun untuk menghormati seorang tokoh pemimpin yang dikubur di bawah Diablo Pyramid, gubernur dan pendiri dinasti El Zotz pertama, bernama Pa'Chan atau langit yang diperkaya.

Penanggalan karbon yang dilakukan mengungkap, kuil Maya yang ditemukan berasal dari masa 350 - 400 Masehi. Peradaban maya menyebar ke Meksiko, Guatemala, Honduras, El Salvador, dan Belize. Diperkirakan, puncak peradaban maya adalah antara tahun 250 - 900 Masehi.

Kuil yang ditemukan dihiasi dekorasi berbentuk topeng dari bahan semen, setinggi 1,5 meter, yang masing-masing menggambarkan fase Matahari bergerak dari timur ke barat. Dekorasi lain adalah plesteran dari semen yang oleh tim peneliti dikatakan sangat mengagumkan.

Thomas Garrison, arkeolog University of Southern California yang juga terlibat penemuan dalam konferensi pers pada Rabu (18/7/2012) di Guatemala City mengatakan bahwa lebih dari setengah bagian kuil masih harus diekskavasi.

"Kuil mungkin memiliki 14 topeng pada dekorasi dinding bagian atas, tapi hanya 8 dianataranya yang sudah didokumentasikan sejauh ini," kata Edwin Roman, arkeolog dari University of Austin seperti dikutip AFP, Rabu kemarin.  

Moyang Manusia Sudah Mengenal Obat-obatan

Homo erectus

Moyang manusia yang sering disebut manusia goa, yakni Neanderthals (Homo neanderthalensis), terbukti telah mengonsumsi daun-daunan dengan memanggangnya dan mungkin memanfaatkannya sebagai obat-obatan.

Hal tersebut terungkap dari hasil penelitian Karen Hardy, antropolog dari Autonomous University of Barcelona di Spanyol yang dipublikasikan di jurnal Naturwissenschaften (The Science of Nature).

Hardy meneliti lima fosil Neanderthals yang ditemukan di Goa El Sidron di wilayah utara Spanyol. Ia melakukan observasi pada plak gigi fosil yang sudah berusia 50.000 tahun itu untuk mengungkap diet makanan Neanderthals.

Pada plak gigi ditemukan jejak nutrisi yang dimakan Neanderthals, di antaranya berupa kacang, rerumputan, sayur-sayuran, jejak kimia asap kayu serta amilum sebagai bukti bahwa moyang manusia itu sudah mengonsumsi karbohidrat.

Analisis pada salah satu spesimen mengungkap adanya jejak yarrow dan chamomile. Herba itu tak memiliki nilai nutrisi dan memiliki rasa pahit. Ilmuwan berpendapat bahwa dua herba itu dikonsumsi bukan sebagai makanan, melainkan obat-obatan.

Michael Chazan dari University of Toronto seperti mengatakan bahwa makanan yang terasa pahit bisa saja masuk sebagai produk samping memasak. Sementara itu, Richard Wrangham dari Harvard University mengatakan, bisa saja yarrow dan chamomile dipakai sebagai bumbu.

Namun, Hardy tidak setuju dengan hal tersebut. Belum ada bukti bahwa Neanderthals mempunyai panci untuk memasak. Selain itu, analisis secara genetik juga mengungkap bahwa Neanderthals bisa merasakan pahit.

Hardy yakin bahwa Neanderthals menggunakan dedaunan yang terasa pahit sebagai bahan obat, seperti halnya para herbalis modern yang memakainya sebagai obat antiseptik dan antibengkak.

"Semua primata tingkat tinggi menggunakan tanaman obat, jadi mungkin Neanderthals melakukannya juga," kata Hardy seperti dikutip Nature, Rabu (18/7/2012). 

Homo Neanderthals dan Manusia Modern Satu Darah?

  Homo neanderthalensis


Bisa jadi, kebanyakan manusia modern saat ini membawa fragmen DNA manusia purba neanderthals dari salah satu kromosom seks mereka.
Temuan ini terungkap dalam riset terbaru yang dilakukan sejumlah peneliti di University of Montreal, Kanada, seperti dirilis Livescience, Jumat (22/7/2011). Para peneliti menemukan bukti lalu mengembangkan teori bahwa homo neanderthals yang telah punah pernah berhubungan seks dengan manusia modern atau homo sapiens.
Ini terjadi ketika manusia modern melakukan migrasi keluar dari Afrika pada kurun 50.000 80.000 tahun silam. Fragmen DNA neanderthals yang ditemukan pada kromosom X (pembawa sifat kewanitaan) manusia saat ini. Sebanyak 9 persen manusia saat ini mulai dari Asia, Eropa dan Amerika diperkirakan membawa fragmen DNA ini.
Dalam studi yang dilakukan 2010, peneliti Damian Labuda dari University of Montreal melakukan ekstraksi DNA dari tulang neanderthals yang ditemukan di Kroasia. Lalu, mereka membandingkan DNA ini dengan 6.092 kromosom x manusia modern saat ini di seluruh benua. Hasilnya, peneliti menemukan ada sedikit kesamaan fragmen DNA manusia modern dengan gen neanderthals.
Manusia neanderthals yang hidup pada zaman Pleistosen diperkirakan memiliki ciri-ciri fisik antara lain tinggi, berkulit pucat, dan rambut merah. Penampakan fisik ini hampir serupa dengan manusia modern yang ada saat ini, terutama di Eropa.

Nenek Moyang Manusia Punya Indra Keenam

Homo rudolfensi


Manusia memiliki panca indra, tetapi nenek moyang kita memiliki indra keenam yakni kemampuan untuk mendeteksi medan listrik di dalam air untuk memburu mangsa dan berkomunikasi. Kesimpulan ini merupakan hasil studi yang dilakukan oleh sejumlah peneliti asal Amerika Serikat, yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications.
Menurut para peneliti, sekitar 30 ribu spesies hewan darat dan manusia merupakan keturunan dari satu nenek moyang yang memiliki sistem elektroreseptif yang berkembang sangat baik. Nenek moyang ini diperkirakan merupakan seekor ikan predator yang memiliki penglihatan baik, rahang dan gigi yang kuat serta sistem gurat lateral untuk mendeteksi pergerakan air. Sistem ini tampak seperti garis yang berada di sisi milik ikan-ikan saat ini seperti hiu, yang juga memiliki indra keenam tersebut.
"Makhluk yang hidup sekitar 500 juta tahun ini merupakan nenek moyang bagi sebagian besar dari 65 ribu makhluk hidup vertebrata darat dan hewan laut lainnya," kata Willy Bemis, evolutionary biologist dari Cornell University yang melakukan penelitian.
Sejumlah vertebrata darat, termasuk salamander seperti axolotl Meksiko (Ambystoma mexicanum) yang terncam punah, memiliki elektroreception tersebut. Namun adaptasi terhadap kehidupan di darat telah membuat reptil, mamalia, dan burung kehilangan indra electrosense tersebut.

Inilah Wajah-wajah Nenek Moyang Manusia

  Sahelanthropus tchadensis


  Homo erectus

  Homo neanderthalensis

  Homo rudolfensis

Alkisah, spesies manusia pertama kali muncul di Afrika dan kemudian menyebar ke seluruh penjuru Bumi. Dalam penyebarannya, proses evolusi berlangsung menyesuaikan dengan tempat tinggal serta gaya hidup.
Ada beragam fosil nenek moyang manusia alias manusia purba yang ditemukan. Namun, banyak penemuan tak disertai dengan gambaran wajah manusia purba yang sebenarnya. Alhasil, manusia saat ini pun kesulitan membayangkan leluhurnya.
Sebuah pameran di Dresden, Jerman, akhir-akhir ini berupaya menyajikan wajah manusia purba yang lebih realistis. Ilmuwan yang ikut terlibat menggunakan teknik digitalisasi komputer untuk menggambarkan 27 wajah manusia purba yang direkonstruksi berdasarkan fosil yang ditemukan.
Salah satu yang digambarkan adalah Sahelanthropus tchadensis. Spesies itu adalah spesies manusia paling purba, hidup 7 juta tahun lalu, sebelum manusia dan simpanse terpisah secara genetik berdasarkan teori evolusi.
Spesies lain adalah Homo rudolfensis yang hidup 2 juta tahun lalu. Berdasarkan hasil rekonstruksi, spesies ini memiliki rahang lebar, hidung pesek, mata relatif sempit, serta dahi kecil.
Tak ketinggalan pula Homo erectus yang hidup 1 juta tahun lalu. Satu teori menyebutkan bahwa spesies ini berasal dari Afrika, lalu bermigrasi ke India, China, dan Jawa. Teori lain menyebutkan bahwa spesies ini berasal dari Asia dan pindah ke Afrika.
Ada pula Homo neanderthalensis yang diperkirakan merupakan kerabat terdekat Homo sapiens, manusia modern. Jenis ini hidup sekitar 60.000 tahun lalu. Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa manusia modern pernah kawin dengan spesies ini.
Ada banyak versi tentang asal-usul manusia. Teori "Out of Africa" adalah yang paling kuat, tetapi banyak pula tandingannya. Pameran ini berupaya memperkenalkan lokasi penggalian di Afrika dan hasil penelitian para arkeolog dengan cara yang lebih menarik.

Manusia Purba Juga Mengonsumsi Susu

Roberto Ceccacci Seni gua yang menggambarkan domestikasi hewan ternak, berumur 5000-8000 tahun, ditemukan di Libya.

 
 
Manusia purba yang hidup 7000 tahun lalu di Gurun Sahara di Afrika ternyata juga mengonsumsi susu, memprosesnya menjadi bahan makanan tertentu.

Itulah hasil penelitian arkeolog University of Bristol di Inggris yang dilakukan dengan menganalisis sampel tembikar bernama Takarkori yang ditemukan di Libya.

Dalam hasil penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature tersebut, Julie Dunne yang melakukan penelitian mengungkapkan, ada bukti bahwa manusia purba memproses susu.

"Kami tahu mereka memanaskannya, untuk membuat mentega atau lainnya," kata Dunne seperti dikutip New York Times, Rabu (20/6/202).

"Kami belum tahu apakah itu mentega, keju atau yoghurt, tapi kami tahu mereka memrosesnya dalam periuk itu," lanjut Dunne.

Pemrosesan susu oleh manusia purba itu masuk akal. Manusia purba intoleran terhadap laktosa, jadi mereka perlu memproses susu agar bisa mengkonsumsinya.

Bukti adanya konsumsi susu juga tercermin dari seni gua yang dihasilkan oleh manusia purba pada masa tersebut. "Ada figur manusia dengan hewan ternaknya," kata Dunne. Bahkan, terdapat gambar orang yang tengah memerah susu dari sapi.

Manusia Modern Akan Berevolusi secara Kultur


Pascaevolusi Homo sapiens, manusia modern masih akan terus berevolusi, baik molekuler maupun genetik. Namun, berbeda dengan evolusi sebelum masa Homo sapiens yang sangat dipengaruhi lingkungan, perkembangan manusia modern akan didominasi evolusi kultur.
Demikian diutarakan ahli evolusi molekuler Fakultas Biologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Ferry Fredy Karwur PhD, dalam Seminar "Evolusi: Manusia Jawa Purba: A New Adventure" di Kota Salatiga, Jawa Tengah, Kamis (9/10). Hadir sebagai pembicara Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran Dr Harry Widianto.
Menurut Ferry, evolusi kultur akan menjadi pendorong paling kuat evolusi. Berbeda dengan evolusi genetik yang membutuhkan waktu ribuan bahkan jutaan tahun, evolusi kultural berlangsung relatif lebih cepat. Sebagai contoh, selama kurun waktu 200 tahun terakhir, perilaku manusia sudah berubah secara fundamental.
"Kalau manusia modern beradaptasi dengan akal, manusia purba beradaptasi secara fisik. Hal ini terlihat dari perubahan bentuk fisik manusia purba dari generasi sebelum Homo sapiens," kata Harry.
Sebagai contoh, untuk menghadapi tekanan lingkungan, manusia purba memiliki torus yang menonjol, kekuatan rahang yang lebih besar, serta gigi-gigi besar dengan akar terbuka. Kondisi ini perlahan-lahan berubah.
"Bulu pada manusia purba yang perlahan menghilang merupakan bentuk adaptasi fisik terhadap iklim yang mulai menghangat," ujarnya.
Kapasitas otak
Homo sapiens yang ada sejak sekitar 120.000 tahun lalu menunjukkan karakter yang lebih berevolusi dan modern dibandingkan dengan Homo erectus (1,7 juta tahun lalu). Salah satu yang paling utama adalah bertambahnya kapasitas otak. "Volume otak Homo erectus sekitar 1.016 cc, sedangkan Homo sapiens mencapai 1.355 cc," ujar Ferry.
Ferry mengatakan, meski evolusi kultural sangat dominan, tidak tertutup kemungkinan terjadinya evolusi fisik. Proses evolusi ini diawali dengan adanya tekanan terus-menerus yang semula tidak bersifat genetis, tetapi akhirnya menjadi bersifat genetis melalui jembatan epigenetis yang menghubungkan dengan lingkungan. Meski demikian, waktu yang dibutuhkan untuk evolusi fisik ini sangat tergantung dengan intensitas tekanan tersebut.

Menyusuri Jejak Nenek Moyang Kita

Rekonstruksi Homo erectus dipajang di Museum Geologi, Bandung, Jawa Barat, Minggu (27/9/2009). Rekonstruksi wajah tersebut berdasarkan spesimen tengkorak P VIII oleh Yoichi Yazawa dengan supervisi oleh Dr Fachroel Aziz dari Museum Geologi dan hisao Baba dari Jepang untuk pameran Rivving Pithecanthropus di Jepang, tahun 1996.

 
 
Nenek moyang manusia modern, Homo sapiens, mulai muncul dan tinggal di kawasan Afrika 150.000-200.000 tahun lalu. Mereka mulai bermigrasi ke luar Afrika 70.000 tahun lalu dan menyebar ke seluruh dunia. Pada periode yang lebih kurang sama, 74.000 tahun lalu, terjadi letusan dahsyat Gunung Toba di Sumatera. Mungkinkah kedua peristiwa ini saling memengaruhi?
Tidak mudah menjawab pertanyaan tersebut. Kejadian yang sudah berlangsung ribuan tahun itu hanya bisa dibuktikan lewat jejak peninggalan mereka. Ironisnya, semua bukti tampaknya terkubur material yang dimuntahkan Gunung Toba.
Paling tidak begitulah kesimpulan Craig Chesner, geolog dari Eastern Illinois University. Letusan terakhir Toba menimbun nyaris seluruh daratan Sumatera mulai dari Samudra Hindia di sebelah barat hingga Selat Malaka di sebelah timur. Ketebalan material rata-rata 100 meter dan di beberapa area bahkan mencapai 400 meter.
Sebagai bandingan, jejak arkeologi yang terkubur letusan Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (1815), ditemukan pada kedalaman 3 meter di bawah lapisan piroklastik, batuan apung, abu, dan tanah lempung. Berdasarkan Volcanic Explosivity Index, kekuatan letusan Tambora adalah pada skala 7 dari 8, hanya kalah dari letusan Gunung Toba ribuan tahun sebelumnya.
Untunglah ilmu pengetahuan terus berkembang. Kini, upaya memahami asal-usul manusia modern bisa dilakukan dengan membaca urutan sekuen DNA (deoxyribonucleic acid) atau rantai panjang polimer nukleotida yang mengandung informasi genetik untuk diturunkan.
Selain informasi genetik, DNA juga bisa menginformasikan riwayat kehidupan nenek moyang kita. Di sinilah perubahan dalam tubuh terekam—seiring dengan perubahan pola makan, lingkungan, ataupun aktivitasnya—dan memberikan gambaran bagaimana sebenarnya pola kehidupan yang mereka jalani. Hasil perbandingannya dengan DNA populasi di berbagai tempat lain menggambarkan proses berlangsungnya migrasi dan bagaimana hubungan kekerabatannya.
”Keragaman genetik manusia adalah arsip evolusi manusia selama ribuan tahun yang dapat dieksplorasi dari berbagai disiplin ilmu,” kata Prof dr Sangkot Marzuki, MSc, PhD, DSc, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Maka, ketika digagas studi besar untuk memetakan genetik populasi bangsa Asia tahun 2004, Lembaga Eijkman antusias ikut serta. Dalam penelitian yang berlangsung lima tahun, 93 peneliti dari 40 institusi bergabung dalam penelitian ini. Mereka berasal dari Jepang, Korea, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Taiwan, China, Nepal, India, dan tentu saja Indonesia.
Disebut Konsorsium Pan-Asian SNP (Single Nucleotide Polymorphism), tujuan proyek memang untuk memahami asal-usul keragaman genetik di Asia. Di bawah payung Human Genome Organisation, studi meneliti DNA pada 73 populasi di Asia Tenggara dan Asia Timur dengan sekitar 2.000 sampel darah untuk mendapatkan 50.000 marka (titik data) per sampel.
Marka tersebut adalah single nucleotide polymorphisms (SNPs), suatu tempat pada kromosom yang membedakan individu satu dengan lainnya. Jumlah variasinya, disebut haplotype, mengindikasikan kedekatan dua individu secara genetik. Maka, distribusi haplotype secara geografis akan menunjukkan jejak migrasi, termasuk yang berlangsung pada zaman prasejarah.
Rute selatan
Penelitian sebelumnya—dimuat dalam Proceedings of the National Academy of Sciences (1999)—menyimpulkan bahwa Homo sapiens dari Afrika yang menjadi nenek moyang manusia modern bermigrasi lewat tiga rute: Oseania, Asia yang sebagian lagi berlanjut ke Amerika, dan Eropa. Temuan pada mitokondria DNA yang diwariskan dari kromosom ibu dikonfirmasi dengan filogeni kromosom Y yang hanya ada pada pria.
Selanjutnya studi genetik Konsorsium Pan-Asian SNP yang selesai tahun 2009 menemukan, jalur utama migrasi manusia modern ke Asia adalah melalui Sunda Besar yang sekarang dikenal sebagai kawasan Asia Tenggara. ”Temuan ini melawan arus besar teori migrasi yang menyebutkan bahwa nenek moyang kita berasal dari Asia bagian utara,” kata Sangkot.
Selama ini, migrasi Homo sapiens ke Asia dipercaya berasal dari tempat singgah mereka di kawasan Timur Tengah dan berlangsung dalam dua gelombang. Gelombang terbesar berjalan melintasi stepa Eurasia dan kemudian berbelok ke selatan melalui daratan Asia. Gelombang kedua yang dianggap tidak berperan penting bergerak melewati pesisir selatan memutari India menuju Indonesia, Malaysia, Filipina, sebelum ke Pasifik.
Namun, studi terakhir membuktikan keragaman genetik justru makin berkurang dari selatan ke utara. Sebagian besar kode genetik yang ditemukan di Asia Timur ternyata lebih banyak lagi ditemukan di selatan. Artinya, Homo sapiens bermigrasi ke Asia hanya dalam satu gelombang melalui rute pesisir selatan (Science, 2009).
Tempat persinggahan utama mereka adalah Sunda Besar. ”Dengan demikian, Asia Tenggara-lah sumber geografis utama populasi Asia Timur dan Asia Utara,” ujar Sangkot.
Apabila dikaitkan dengan letusan Toba, temuan itu juga menunjukkan bahwa nenek moyang kita ternyata mampu bertahan dari bencana dahsyat yang berpotensi memusnahkan kehidupan.
”Skenario survival tersebut didukung bukti dari rekam jejak DNA pada populasi di kawasan Wallacea yang menunjukkan campuran gen dengan populasi dari kawasan Sunda Besar. Selain itu, ada temuan fosil dan peninggalan manusia purba di Gua Niah, Sarawak. Dari umurnya, temuan Niah mengindikasikan bahwa mereka tidak musnah karena letusan Toba,” papar dr Herawati Sudoyo, MS, PhD, Deputi Direktur Lembaga Eijkman.

Moyang Madagaskar Ternyata dari Indonesia

Peta Madagaskar

Arkeolog Prof Dr Naniek H Wibisono meyakini bahwa nenek moyang orang Madagaskar yang berasal dari Indonesia pada 1.200 tahun lalu datang ke pulau itu dalam kaitannya dengan perdagangan.
"Saya yakin mereka datang ke Madagaskar dalam rangka trading (misi perdagangan)," kata peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional itu pada diskusi mengenai proyek "Keragaman Genetik Manusia Indonesia dan Pengembaraannya" yang digelar oleh Lembaga Eijkman dan sejumlah lembaga ilmiah lain dari Massey University, Selandia Baru; University of Arizona, AS; dan Universite de Toulouse, Perancis, di Jakarta, Senin (16/4/2012).
Naniek mengemukakan, pada abad ke-7 dan ke-8 adalah masa ramai-ramainya Asia Tenggara melakukan perdagangan ke berbagai wilayah di dunia, seperti ke Asia daratan, Timur Tengah, hingga Eropa.
Pada masa itu di Nusantara sedang berjaya Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan Kerajaan Syailendra (Mataram Kuno) di Jawa serta mulai berkembangnya Kerajaan Islam Samudera Pasai.
Ia juga mengakui adanya berbagai benda bersejarah di Madagaskar yang mirip dengan benda-benda di Indonesia, seperti perahu bercadik, instrumen musik seperti gamelan, serta bukti budaya seperti teknik memproses besi dan bercocok tanam seperti padi dan umbi-umbian.
Sementara itu, Prof Dr Herawati Sudoyo dari Lembaga biologi molekuler Eijkman yang meneliti pengembaraan manusia Indonesia (Austronesia) dari sisi genetik mengatakan, orang Madagaskar (Malagasi) adalah keturunan dari moyang campuran antara orang Afrika dan Indonesia.
"Nenek moyang orang Madagaskar asal Indonesia itu, berdasarkan studi genetik, datang ke pulau itu pada 1.200 tahun lalu. Namun, belum diketahui secara khusus datang dari wilayah Indonesia yang mana," kata Herawati.
Hal itu karena pihaknya menggunakan marka genetik DNA Mitokondria yang hanya bisa melihat penurunan maternal (nenek moyang perempuan) yang diturunkan ke anak laki-laki maupun perempuan sehingga disimpulkan dari 2.745 sampel, nenek moyang Madagaskar adalah 30 perempuan Indonesia.
"Kami sedang dalam proses menganalisis DNA dari kromosom Y yang bisa menjawab pertanyaan tentang moyang laki-laki dari Indonesia. Karena kami juga ingin tahu bagaimana 30 perempuan itu bisa datang ke Madagaskar 1.200 tahun lalu. Apakah mereka datang bersama para laki-laki juga," katanya.
Ia menambahkan, selain sampel dari 2.745 individu dari 12 pulau di Indonesia (Sumatera, Nias, Mentawai, Jawa, Bali, Sulawesi, Sumba, Flores, Lembata, Alor, Pantar, dan Timor), juga diambil sampel 266 individu berasal dari tiga populasi di Madagaskar.
"Yakni Mikea yang merupakan pemburu di hutan, Vezo nelayan di pantai, dan Merina yang hidup di dataran tinggi. Ketiga populasi ini sengaja diambil dari etnik yang terisolasi karena lebih murni, belum bercampur dengan banyak etnis lain," katanya.
Hasil riset genetik juga menunjukkan sebagian besar Malagasi memiliki ikatan maternal dengan kepulauan Asia Tenggara (70 persen) dan juga menyimpulkan munculnya motif baru yang khas di Madagaskar, yang merupakan motif Malagasi dan tidak ada di Nusantara.
Pulau seluas 592.800 km2 di sebelah timur Afrika itu meski hanya 400 km dari pantai timur Afrika dan 6.400 km jauhnya dari ujung barat Indonesia, tetapi secara genetik, bahasa dan budayanya didominasi oleh Indonesia, tambahnya.

Moyang Manusia Pemakan Kulit Pohon

Fosil moyang manusia yang ditemukan di Afrika Selatan. Studi mengungkap adanya moyang manusia yang memakan kulit pohon dan kayu.

 
Salah satu nenek moyang manusia, yaitu spesies Australopithecus sediba yang ditemukan di Afrika Selatan pada tahun 2008, ternyata pemakan kulit pohon dan kayu.

Studi terbaru yang dipimpin oleh Amanda Henry dari Max Planck Institute of Evolutionary Anthropology di Leipzig, Jerman, menguak hal tersebut. Riset dilakukan dengan analisis plak gigi yang memfosil, disebut calculus, pada Australopithecus sediba.

Secara lebih detail, riset menganalisis pola gigi, fragmen tumbuhan pada gigi dan data karbon isotop. Hasil penelitian menguak bahwa selain memakan buah dan dedaunan, moyang manusia tersebut juga memakan kulit pohon dan bahkan kayunya.

"Kami untuk pertama kalinya berhasil memakai tiga metode berbeda untuk merekonstruksi diet makanan dan memperoleh gambaran diet moyang manusia ini cukup baik, dan gambaran diet yang kita lihat cukup berbeda dengan hominin (moyang manusia) lainnya," kata Henry.

"Ini sangat mengagumkan, kami melihat ada lebih banyak variasi dalam spesies ini, lebih dari yang kami harapkan sebelumnya," ungkap Henry seperti dikutip BBC pada Rabu (27/6/2012).

Henry mengungkapkan, moyang manusia tersebar di banyak daerah dengan karakteristik habitat yang berbeda. Australopithecus sediba juga berjalan dengan dua kaki, tapi diduga juga memanjat pohon.

"Dia cukup primitif, memiliki otak yang sangat kecil, pendek dan memiliki lengan yang cukup panjang. Tapi dia secara pasti memang terkait dengan kita (spesies manusia)," jelas Henry.

Louise Humphrey dari Natural History Museum di London mengatakan, diet Australopithecus sediba memang unik, membuat kesan bahwa makhluk ini memang primitif. Tapi, saat ini ada perdebatan, apakah spesies tersebut moyang manusia atau sepupu manusia, artinya modern.

Henry mengungkapkan, banyak orang mungkin menolak ide bahwa moyang manusia yang memakan kulit pohon. Namun, pada dasarnya manusia tak pernah tahu apa yang mereka makan. Bisa saja yang dimakan adalah bagian dalam kulit pohon berupa getah yang mengandung gula.

"Jadi kalau yang dimakan adalah situp gula itu, yang merupakan getah dari pohon, maka itu bisa jadi bahan makanan yang sangat lezat," katanya.

Klan Cahaya X Klan Hitam "Part 1"

    Vision Pagi itu tidak terlihat adanya hal-hal aneh yang terjadi. Lisa dan sahabatnya menjalani perkuliahan seperti biasanya. ...