1. Tan Malaka
atau
bergelar Datuk Ibrahim lahir di Nagari Padam gadang,Suliki Sumatera
Barattanggal 19 februari 1896, Belum jelas latar belakang keluarga Tan
Malaka,walaupun beliau dilahirkan di kota Padang dan memiliki gelar
Datuk dan beragama Islam,ada sebagaian orang menyebutkan Tan Malaka
adalah seorang keturunan Etnis Tionghoa,hal ini dapat dilihat dari nama “Tan”.
“Tan” merupakan nama salah
satu marga Tionghoa berdialeg Hokkian, walaupun dalam sejarah Indonesia
hal tersebut tidak dituliskan. Tan Malaka seorang pejuang kemerdekaan
yang militant,radikal dan revolusioner juga legendaries.dia seorang yang
kritis,dengan seringnya membuat kritikan mulai dari jaman penjajahan
belanda sampai pemerintahan Soekarno-Hatta.
Tan Malaka adalah seorang sosialis
dalam cara berpikir dan pandangan politiknya tetapi dia sendiri bukan
seorang komunis,hal tersebut terlihat dengan seringnya beliau terlibat
konflik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Rumah tempat kelahiran Tan Malaka
Tan Malaka menghabiskan sebagaian
hidupnya di pembuangan diluar Indonesia, Sebagai seorang aktifis
kemerdekaan, beliau seringkali menjadi sasaran penahanan pemerintah
colonial Belanda,tetapi justru dengan keadaanya yang demikian, Tan
Malaka dapat memainkan peran Intelektualnya di dunia
Internasional,dengan membangun jaringan gerakan sosialis Internasional
untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara.
Dalam sejarah Tan Malaka tercatat
sebagai seorang Pendiri Partai MURBA,yang berasal dari Sarekat Islam
(S.I) Jakarta dan semarang,Ia dibesarkan dalam semangat Modernisasi
Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat.
Tan Malaka Muda
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah
terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari
sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda
komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam)
untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta
ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara,
jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda
melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil
tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai
niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI
untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi
banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di
dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda,
Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid
untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan;
ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah
itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu
bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.
Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya
sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi
juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang
dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan
aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat
propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya
ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di
dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi
usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan
vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya.
Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar,
program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti
oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai
wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih
sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada
pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan
kemudian memutuskan hubungan dengan PKI,Sardjono-Alimin-Musso.
Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia"
memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington
merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai
atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina
pecah…."
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan,
di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun.
Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan
pimpinan Mussodan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana MenteriAmir Syarifuddin,
Tan Malaka saat Revolusi kemerdekaan
Pada tahun 1949 tepatnya bulan
Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya
di tengah-tengah perjuangan bersamaGerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya
Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949.Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53,yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Karya Tan Malaka yang lainnya adalah sebuah buku yang berjudul MADILOG(Materialisme, Dialektika, Logika), Madilog merupakan
istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta
mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat
kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah
fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme
yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan
penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita
nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Buku Madilog Karya Tan Malaka
Bagi Madilog, yang pokok dan pertama
adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika
tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit,
sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya
dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
2. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo demikian nama lengkap dari Kartosoewirjo, dilahirkan 7
Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang
menjadi daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah. Kota Cepu ini
menjadi tempat di mana budaya Jawa bagian timur dan bagian tengah
bertemu dalam suatu garis budaya yang unik.
Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang. Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah Kartosoewirjo mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya. Kartosoewirjo pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.
Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin mapannya "gerakan pencerahan Indonesia" ketika itu, Kartosoewirjo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh.
Pada tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu Kartosoewirjo berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) atau Sekolah "kelas dua" untuk kaum Bumiputra di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School). Bagi seorang putra "pribumi", HIS dan ELS merupakan sekolah elite. Hanya dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa.
Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi "guru" agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo sendiri kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir Kartosoewirjo. Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.
Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926) ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.
Selama kuliah Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai "mengaji" secara serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu "terasuki" oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.
Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosuwirjo. Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya karena "terasuki" ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh "komunis" karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah seorang ulama besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan mengakuinya sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.
Ayahnya, yang bernama Kartosoewirjo, bekerja sebagai mantri pada kantor yang mengkoordinasikan para penjual candu di kota kecil Pamotan, dekat Rembang. Pada masa itu mantri candu sederajat dengan jabatan Sekretaris Distrik. Dalam posisi inilah, ayah Kartosoewirjo mempunyai kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat itu, menimbulkan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan garis sejarah anaknya. Kartosoewirjo pun kemudian mengikuti tali pengaruh ini hingga pada usia remajanya.
Dengan kedudukan istimewa orang tuanya serta makin mapannya "gerakan pencerahan Indonesia" ketika itu, Kartosoewirjo dibesarkan dan berkembang. Ia terasuh di bawah sistem rasional Barat yang mulai dicangkokkan Belanda di tanah jajahan Hindia. Suasana politis ini juga mewarnai pola asuh orang tuanya yang berusaha menghidupkan suasana kehidupan keluarga yang liberal. Masing-masing anggota keluarganya mengembangkan visi dan arah pemikirannya ke berbagai orientasi. Ia mempunyai seorang kakak perempuan yang tinggal di Surakarta pada tahun 50-an yang hidup dengan penuh keguyuban, dan seorang kakak laki-laki yang memimpin Serikat Buruh Kereta Api pada tahun 20-an, ketika di Indonesia terbentuk berbagai Serikat Buruh.
Pada tahun 1911, saat para aktivis ramai-ramai mendirikan organisasi, saat itu Kartosoewirjo berusia enam tahun dan masuk Sekolah ISTK (Inlandsche School der Tweede Klasse) atau Sekolah "kelas dua" untuk kaum Bumiputra di Pamotan. Empat tahun kemudian, ia melanjutkan sekolah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Rembang. Tahun 1919 ketika orang tuanya pindah ke Bojonegoro, mereka memasukkan Kartosoewirjo ke sekolah ELS (Europeesche Lagere School). Bagi seorang putra "pribumi", HIS dan ELS merupakan sekolah elite. Hanya dengan kecerdasan dan bakat yang khusus yang dimiliki Kartosoewirjo maka dia bisa masuk sekolah yang direncanakan sebagai lembaga pendidikan untuk orang Eropa dan kalangan masyarakat Indo-Eropa.
Semasa remajanya di Bojonegoro inilah Kartosoewirjo mendapatkan pendidikan agama dari seorang tokoh bernama Notodihardjo yang menjadi "guru" agamanya. Dia adalah tokoh Islam modern yang mengikuti Muhammadiyah. Tidak berlebihan ketika itu, Notodihardjo sendiri kemudian menanamkan banyak aspek kemodernan Islam ke dalam alam pikir Kartosoewirjo. Pemikiran-pemikirannya sangat mempengaruhi bagaimana Kartosoewirjo bersikap dalam merespon ajaran-ajaran agama Islam. Dalam masa-masa yang bisa kita sebut sebagai the formative age-nya.
Pada tahun 1923, setelah menamatkan sekolah di ELS, Kartosoewirjo pergi ke Surabaya melanjutkan studinya pada Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Sekolah Kedokteran Belanda untuk Pribumi. Pada saat kuliah inilah (l926) ia terlibat dengan banyak aktivitas organisasi pergerakan nasionalisme Indonesia di Surabaya.
Selama kuliah Kartosoewirjo mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikiran Islam. Ia mulai "mengaji" secara serius. Saking seriusnya, ia kemudian begitu "terasuki" oleh shibghatullah sehingga ia kemudian menjadi Islam minded. Semua aktivitasnya kemudian hanya untuk mempelajari Islam semata dan berbuat untuk Islam saja. Dia pun kemudian sering meninggalkan aktivitas kuliah dan menjadi tidak begitu peduli dengan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh sekolah Belanda, tentunya setelah ia mengkaji dan membaca banyak buku-buku dari berbagai disiplin ilmu, dari kedokteran hingga ilmu-ilmu sosial dan politik.
Dengan modal ilmu-ilmu pengetahuan yang tidak sedikit itu, ditambah ia juga memasuki organisasi politik Sjarikat Islam di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Pemikiran-pemikiran Tjokroaminoto banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi Kartosuwirjo. Maka setahun kemudian, dia dikeluarkan dari sekolah karena dituduh menjadi aktivis politik, dan didapati memiliki sejumlah buku sosialis dan komunis yang diperoleh dari pamannya yaitu Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang cukup terkenal pada zamannya. Sekolah tempat ia menimba ilmu tidak berani menuduhnya karena "terasuki" ilmu-ilmu Islam, melainkan dituduh "komunis" karena memang ideologi ini sering dipandang sebagai ideologi yang akan membahayakan. Padahal ideologi Islamlah yang sangat berbahaya bagi penguasa yang zhalim. Tidaklah mengherankan, kalau Kartosuwirjo nantinya tumbuh menjadi pribadi yang memiliki kesadaran politik sekaligus memiliki integritas keislaman yang tinggi. Ia adalah seorang ulama besar, bahkan kalau kita baca tulisan-tulisannya, kita pasti akan mengakuinya sebagai seorang ulama terbesar di Asia Tenggara.
Semenjak tahun 1923, dia sudah aktif
dalam gerakan kepemudaan, di antaranya gerakan pemuda Jong Java.
Kemudian pada tahun 1925, ketika anggota-anggota Jong Java yang lebih
mengutamakan cita-cita keislamannya mendirikan Jong Islamieten Bond
(JIB). Kartosoewirjo pun pindah ke organisasi ini karena sikap
pemihakannya kepada agamanya. Melalui dua organisasi inilah kemudian
membawa dia menjadi salah satu pelaku sejarah gerakan pemuda yang sangat
terkenal, "Sumpah Pemuda".
Deklarasi Sumpah Pemuda
Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT (Partij Sjarikat Islam Hindia Timur), Kartosoewirjo pun bekerja sebagai wartawan di koran harian Fadjar Asia. Semula ia sebagai korektor, kemudian diangkat menjadi reporter. Pada tahun 1929, dalam usianya yang relatif muda sekitar 22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia. Dalam kapasitasnya sebagai redaktur, mulailah dia menerbitkan berbagai artikel yang isinya banyak sekali kritikan-kritikan, baik kepada penguasa pribumi maupun penjajah Belanda.
Ketika dalam perjalanan tugasnya itu dia pergi ke Malangbong. Di sana bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat yang terkenal bernama Ajengan Ardiwisastera. Di sana pulalah dia berkenalan dengan Siti Dewi Kalsum putri Ajengan Ardiwisastera, yang kemudian dinikahinya pada bulan April tahun 1929. Perkawinan yang sakinah ini kemudian dikarunia dua belas anak, tiga yang terakhir lahir di hutan-hutan belantara Jawa Barat. Begitu banyaknya pengalaman telah menghantarkan dirinya sebagai aktor intelektual dalam kancah pergerakan nasional.
Pada tahun 1943, ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik, yang sempat terhenti. Dia masuk sebuah organisasi kesejahteraan dari MIAI (Madjlis Islam 'Alaa Indonesia) di bawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus menjadi sekretaris dalam Majelis Baitul-Mal pada organisasi tersebut.
Majlis Islam A'ala Indonesia
Dalam masa pendudukan Jepang ini,
dia pun memfungsikan kembali lembaga Suffah yang pernah dia bentuk.
Namun kali ini lebih banyak memberikan pendidikan kemiliteran karena
saat itu Jepang telah membuka pendidikan militernya. Kemudian siswa yang
menerima latihan kemiliteran di Institut Suffah itu akhirnya memasuki
salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah perang, Hizbullah
dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam Indonesia di
Jawa Barat.
Tentara Islam Indonesia (TII)
Pada bulan Agustus 1945 menjelang
berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia, Kartosoewirjo yang disertai
tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah mengetahui kekalahan
Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana: kinilah saatnya
rakyat Indonesia, khususnya umat Islam, merebut kemerdekaannya dari
tangan penjajah. Sesungguhnya dia telah memproklamasikan kemerdekaan
pada bulan Agustus 1945. Tetapi proklamasinya ditarik kembali sesudah
ada pernyataan kemerdekaan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk
sementara waktu dia tetap loyal kepada Republik dan menerima dasar
"sekuler"-nya.
saat Perang revolusi kemerdekaan
Namun sejak kemerdekaan RI
diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum nasionalis sekulerlah yang
memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha menerapkan prinsip-prinsip
kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu kalangan nasionalis Islam
tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 70-an kalangan Islam
berada di luar negara. Dari sinilah dimulainya pertentangan serius
antara kalangan Islam dan kaum nasionalis sekuler. Karena kaum
nasionalis sekuler mulai secara efektif memegang kekuasaan negara, maka
pertentangan ini untuk selanjutnya dapat disebut sebagai pertentangan
antara Islam dan negara.
Situasi yang kacau akibat agresi
militer kedua Belanda, apalagi dengan ditandatanganinya perjanjian
Renville antara pemerintah Republik dengan Belanda. Di mana pada
perjanjian tersebut berisi antara lain gencatan senjata dan pengakuan
garis demarkasi van Mook. Sementara pemerintah RI harus mengakui
kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka menjadi pil pahit bagi Republik.
Tempat-tempat penting yang strategis bagi pasukannya di daerah-daerah
yang dikuasai pasukan Belanda harus dikosongkan, dan semua pasukan harus
ditarik mundur --atau "kabur" dalam istilah orang-orang DI-- ke Jawa
Tengah. Karena persetujuan ini, Tentara Republik resmi dalam Jawa Barat,
Divisi Siliwangi, mematuhi ketentuan-ketentuannya. Soekarno menyebut
"kaburnya" TNI ini dengan memakai istilah Islam, "hijrah". Dengan
sebutan ini dia menipu jutaan rakyat Muslim. Namun berbeda dengan
pasukan gerilyawan Hizbullah dan Sabilillah, bagian yang cukup besar
dari kedua organisasi gerilya Jawa Barat, menolak untuk mematuhinya.
Hizbullah dan Sabilillah lebih tahu apa makna "hijrah" itu.
Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia
Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai ad-Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia
Proklamasi Nagara Islam Indonesia (NII)
sering disebut para pengamat yang
fobi dengan Negara Islam sebagai "Islam muncul dalam wajah yang tegang."
Bahkan, peristiwa ini dimanipulasi sebagai sebuah "pemberontakan".
Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah "pemberontakan", maka ia
bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah perjuangan suci
anti-kezhaliman yang terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini.
"Pemberontakan" bersenjata yang sempat menguras habis logistik angkatan
perang Republik Indonesia ini bukanlah pemberontakan kecil, bukan pula
pemberontakan yang bersifat regional, bukan "pemberontakan" yang muncul
karena sakit hati atau kekecewaan politik lainnya, melainkan karena
sebuah "cita-cita", sebuah "mimpi" yang diilhami oleh ajaran-ajaran
Islam.
Akhirnya, perjuangan panjang
Kartosoewirjo selama 13 tahun pupus setelah Kartosoewirjo sendiri
tertangkap. Pengadilan Mahadper, 16 Agustur l962, menyatakan bahwa
perjuangan suci Kartosoewirjo dalam menegakkan Negara Islam Indonesia
itu adalah sebuah "pemberontakan". Hukuman mati kemudian diberikan
kepada Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo saat di tangkap
Tentang kisah wafatnya
Kartosoewirjo, ternyata Soekarno dan A.H. Nasution cukup menyadari bahwa
Kartosoewirjo adalah tokoh besar yang bahkan jika wafat pun akan terus
dirindukan umat. Maka mereka dengan segala konspirasinya, didukung Umar
Wirahadikusuma, berusaha menyembunyikan rencana jahat mereka ketika
mengeksekusi Imam Negara Islam ini.
Inilah dua tokoh perjuangan
kemerdekaan Indonesia yang sangat Kontroversial sampai saat ini, dimana
sangat sedikit sekali literatur yang mengisahkan tentang kedua tokoh
tersebut, dan terlepas dari kontroversi , faktanya keduanya berjuang dan
berkorban demi kemerdekaan Bangsa Indonesia walaupun pada Akhirnya
berbeda pandangan dan pemikiran untuk membawa bangsa Indonesia kepada
satu tujuan yaitu Negara yang Adil dan Makmur demi kesejahteraan
masyarakat bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar