WASHINGTON (Reuters) - Jika Anda ingin melihat dampak perubahan iklim
terhadap masyarakat modern, sebuah penelitian menemukan contohnya pada
peradaban Maya kuno, yang hancur karena kelaparan, perang, dan jatuh
saat pola cuaca hujan berkepanjangan berubah menjadi kekeringan.
Sebuah tim peneliti internasional mengumpulkan catatan iklim yang
mendetail selama 2000 tahun tentang pola cuaca basah dan kering dari
kawasan yang kini diketahui sebagai negara Belize, dulunya kota-kota
Maya berkembang di situ dari tahun 300 sampai 1000.
Dengan menggunakan data yang terkunci di stalagmit -- deposit mineral
yang tertinggal dari tetesan air di gua-gua -- dan data arkeologi yang
dibuat oleh orang-orang Maya, tim ini kemudian melaporkan temuannya di
jurnal Science, Kamis. Tak seperti tren pemanasan global yang dipicu
oleh aktivitas manusia, termasuk emisi gas rumah kaca, perubahan iklim
di Amerika Tengah saat hancurnya peradaban Maya terjadi karena pola
cuaca yang berubah-ubah dengan dahsyat secara alami. Pola cuaca yang
berubah-ubah ini membawa kelembaban tinggi, yang mendorong pertumbuhan
peradaban Maya, dan periode kering yang membawa kemarau panjang serta
kekeringan selama berabad-abad, kata penulis utama laporan tersebut,
Douglas Kennett, antropolog di Penn State University.

Pada periode basah, pertanian berkembang besar, populasi pun bertambah
di pusat-pusat kebudayaan Maya, kata Kennett lewat wawancara telepon.
Pada masa ini juga terjadi penguatan peran raja di pusat-pusat
peradaban, mereka mengklaim bisa mendatangkan hujan yang kemudian
membawa kesejahteraan. Mereka pun melakukan upacara korban persembahan
agar cuaca tetap mendukung pertanian. Analogi dengan peradaban modern
Saat musim hujan beralih ke kemarau pada tahun 660, kata Kennett,
kekuasaan dan pengaruh para raja itu runtuh, dan berdampak pada perang
yang semakin sering terjadi karena perebutan sumber daya alam makin
terbatas.

"Anda bisa membayangkan orang-orang Maya terjebak," kata dia. "Idenya
adalah para raja ini memastikan hujan tetap datang, mereka menjaga
semuanya teratur, dan semuanya baik-baik saja jika Anda di periode
musim hujan..tapi saat keadaan menjadi buruk, dan para raja ini membuat
persembahan, tapi tak ada yang berubah, maka orang pun mulai
bertanya-tanya kenapa para raja ini berkuasa." Kejatuhan politik
raja-raja Maya terjadi pada tahun 900, saat kemarau berkepanjangan mulai
memberontak terhadap kekuasaan mereka. Namun populasi Maya bertahan
selama seabad kemudian, saat kekeringan dahsyat bertahan dari tahun 1000
sampai 1100 dan memaksa orang-orang Maya meninggalkan pusat-pusat
populasi terbesar mereka. Bahkan di puncak peradaban Maya, manusia
memiliki efek terhadap lingkungannya, kata Kennett, terutama dengan
pertanian yang menyebabkan terjadinya erosi. Pada musim kemarau
panjang, orang-orang Maya pun melakukan intensifikasi pertanian. Saat
iklim di kawasan tersebut berubah menjadi kering dalam sebuah pola
panjang yang disebut zona konversi intertropikal, maka itu memperparah
dampak kerusakan lingkungan akibat manusia, kata Kennett. "Ada
analogi di sini yang bisa kita tarik ke konteks modern dan harus kita
khawatirkan" di Afrika dan Eropa, kata dia. Jika ada perubahan iklim
yang mengabaikan sistem pertanian di sebuah daerah, maka bisa terjadi
kelaparan, ketidakstabilan sosial, dan peperangan yang kemudian
melibatkan populasi lain, kata dia -- sama halnya yang terjadi di
peradaban Maya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar